Kamis, 29 Desember 2016

CELOTEH ANAK - Mandiri

CELOTEH ANAK

Mandiri

Pukul sebelas lewat empat puluh lima menit, terdengar suara mengucap salam dari pintu depan, "Assalamualaikum...." Rupanya Nabasa baru pulang sekolah.

Ibu menjawab salam dan menghampiri Nabasa. "Waalaikum salam..., kok sudah pulang, sama siapa?"

"Tadi pulangnya agak cepat, nunggu dijemput Ibu kelamaan, jadi coba pulang sendiri naik angkot."

"Berani?"

"Di angkotnya sih sama Sena. Pas jalan ke kompleksnya, sendiri."

"Ooo...." Ibu kembali berjalan ke belakang rumah.

Nabasa membuka sepatu dan kaus kaki, lalu menghampiri ibu. "Bu, Teteh senang banget punya buku LKS." Mengambil beberapa buku dari dalam tasnya, menunjukkan pada ibu.

"Lho, kok sudah dapat, Ibu kan belum kasih uangnya?"

"Sudah dibayar, Bu. Pakai uang Teteh, hasil jualan Slime." Tersenyum sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya yang tebal.

"Ooo... nanti Ibu ganti."

"Tidak usah, Bu. Teteh seneng banget bisa beli buku sendiri. Kalau dulu punya buku itu rasanya biasa saja, sekarang beda, gimana... gitu!"

Ibu tersenyum, "karena belinya pake uang sendiri kali... perasaan bangga, senang pada diri sendiri, karena sudah dapat menghasilkan sesuatu atas usaha yang telah dilakukan. Itu namanya kepuasan diri."

"Iya, Betul. Teteh merasa puas dan bangga." Tersenyum lebar.

"Berarti sekarang tambah rajin dong belajarnya." Mata ibu menatap menggoda Nabasa sambil tersenyum.

"Hehehe... sepertinya sih, begitu." Nabasa membereskan buku-buku memasukkannya kembali ke dalam tas. "Bu, Teteh merasa, semakin besar itu semakin serba sendiri. Nyuci sendiri, nyetrika sendiri, apa-apa sendiri."

"Iya memang begitu, bayi saja tidak selamanya nyusu terus sama ibunya. Apa lagi Teteh sudah kelas enam SD."

"Yeee... emangnya Teteh masih nyusu ke Ibu!"

"Itu kan, istilahnya, bukan arti yang sebenarnya."

"Hahaha...." Keduanya tertawa geli.

"Bu, Teteh mau kasih nama dulu bukunya." Berjalan menuju kamar. Satu persatu buku itu dia tulisi namanya.

Ibu tersenyum senang melihat anak sulungnya sudah bisa mandiri.
***

Banyak hal yang dapat membuat rasa bangga, percaya diri, dan dihargai. Diantaranya adalah dapat hidup MANDIRI.
Julianti, Ciputat, 16092016

Sabtu, 03 Desember 2016

CELOTEH ANAK - Teman

CELOTEH ANAK
Teman

Hari Minggu, adalah hari kemerdekaan bagi anak-anak, sebab bebas dari rutinitas sekolah.
Setelah sholat subuh, Nabasa, Alecia, Kinanti, membereskan tempat tidur, lalu pamitan untuk lari pagi mengelilingi kompleks rumah bersama teman-temannya.

Begitu pun ibu, merasakan suasana santai di hari Minggu, selesai beres-beres rumah, membuka laptop, memutar vidio senam aerobik, walau senam sendiri tapi terlihat menikmati.
Jam delapan lewat ibu selesai senam.
Anak-anak belum pulang ke rumah untuk sarapan.
Ibu mulai khawatir, bergegas ke luar menuju rumah Mia sahabat Nabasa, ternyata tidak ada. Mencari ke rumah temannya yang lain, tidak ketemu juga, bahkan teman-temannya pun belum pulang.

"Hhmmm... ke mana anak-anak, ya." Ibu bergumam sambil berjalan melewati mesjid.
Sayup  terdengar suara ramai di halaman mesjid, ternyata anak-anak sedang bermain loncat tinggi.
Ibu menghampiri, "Teteh , Cia, Kinan... ayo pulang dulu, kan belum makan."

"Tar, Bu!" Jawab Nabasa.

"Ini sudah mau jam sembilan, nanti mainnya dilanjutin setelah makan!"

"Iya, iya, Bu...." Berhenti sejenak menoleh pada teman-temannya, "Hey... aku mau makan dulu ya... nanti ke sini lagi."

Teman-teman Nabasa terlihat kecewa, tapi mereka terus melanjutkan permainan.
Nabasa menghampiri ibu.
Alecia dan Kinanti mengikuti.
Mereka berjalan bersama menuju rumah.

"Gimana sih, main kok sampai lupa makan!" Ibu mengomel.

"Teman-teman yang lain juga belum pada makan." Nabasa menyahut.

"Kenapa ngikutin orang lain?" Ibu menoleh ke Nabasa.

"Bukan orang lain, Bu. Tapi TEMAN." Kinanti menceletuk, dengan muka tanpa ekspresi.

"Iya..., teman itu kan orang lain."

"Bukan! Kalau orang lain itu... tidak kenal. Ini semua Kinan kenal." Terlihat wajah polos Kinanti, menggemaskan.

"Iya deh, teman." Ibu menarik napas panjang, senyum tertahan.

"Eh, gimana kalau kita ajak mereka makan bareng, biar seru." Usul Nabasa.

"Iya bener!" Alecia mengacungkan telunjuknya, tanda setuju.

"Ya, Bu, ya...?" Nabasa memegang tangan ibu.

Sejenak Ibu menatap Nabasa, melihat ke Alecia, Kinanti, seraya berpikir. "Hhmmm... Iya, boleh."

"Horeeey...!" Nabasa bersorak senang, segera balik badan, berlari menuju teman-temannya. "Heyy... kalian udah pada makan belum?"

"Belum." Menjawab serentak.

"Kita makan bareng-bareng yuuu...!"

Mereka saling menoleh, menatap, sebagai isyarat minta persetujuan. "Ayo!"

"Iya, ayo! Makannya di Gazebo aja, ya!" Usul Mia.

"Kita ambil makanannya dulu, nanti kumpul di sana." Sahut yang lain.

"Ok...." Anak-anak berlarian menuju rumah masing-masing.

Begitu pun Nabasa, berlari menuju rumahnya. Terlihat ibu, Alecia dan Kinanti, baru sampai teras. "Bu... Bu... biar Teteh aja yang ambil makanannya, kita mau makan bareng di Gazebo."

Ibu mengangguk. "Iya."

"Kinan ikut...!"

"Cia juga...!"

Mereka mengemas makanan ke dalam kotak plastik, lalu pergi menuju Gazebo yang terletak di sudut pertigaan jalan dekat rumah.
Tidak lama kemudian teman-temannya berdatangan.
Mereka pun makan dengan lahap dan seru, saling mencicipi makanan yang dibawa dari rumah masing-masing.
***

Sikap anak-anak itu mengingatkan kita tentang solidaritas.
Rasa kebersamaan yang kini mulai memudar, terutama di daerah perkotaan.
Budaya "Silih asah, silih asih, silih asuh."  Semoga dapat terjalin kembali, mengakar, tertanam dari sejak dini.
Julianti, Ciputat, 14082016