Jumat, 29 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Tepa Salira

CELOTEH ANAK

Tepa Salira

Nabasa, Alecia, Kinanti dan Ibu, sedang menonton tv sambil makan timun. 
Kinanti menghampiri ibu, menyodorkan sepotong timun sisa, bagian ujungnya, ke mulut ibu.

Kinanti   : "Bu, A!" 

Ibu memegang tangan Kinanti, melihat ke arah timun itu.
Ibu           : "Mmm... tidak mau!" Sambil menggelengkan kepala.

Kinanti    : "Biasanya Ibu mau. A!" Sedikit memaksa.

Rupanya Nabasa memperhatikan tingkah Kinanti, dengan suara agak kencang ia memberitahu.
Nabasa  : "Kinan, Itu kan pahit! Kenapa dikasih Ibu? jangan mentang-mentang Ibu suka makan sisa kita, asal kasih aja!" 

Kinanti melihat ke Nabasa dengan raut muka cemberut.

Ibu     : "Sini Kinan...." Memanggil Kinanti dengan lembut, menarik tangannya perlahan. 

Kinanti duduk dipangkuan ibu.

Ibu            : "Kinan tahu tidak, itu pahit?"

Kinanti     : "Tahu."

Ibu             : "Kenapa disuapin ke Ibu?"

Kinanti   : "Ibu kan suka makan, makanan Kinan yang tidak habis."

Ibu         : "Kalau Kinan merasa pahit, kemungkinan yang lain juga sama. Harusnya tanya dulu, suka atau tidak. Jadi jangan langsung suapin aja, apalagi memaksanya." Menatap Kinanti sambil tersenyum.

Kinanti    : "Iya, Bu." Kinanti menaruh timun sisa di atas meja, mengambil kembali timun baru yang sudah dibelah, dibuang ujung yang pahitnya, lalu menyuapi ibu.

Kinanti     : "Ini tidak pahit, Bu. A...!"


Nabasa     : "Nah... begitu, dong!" Kembali menonton tv.

Ibu tersenyum sambil mengunyah.
Alecia tertawa kecil.


Anak-anak melakukan apa yang sering mereka lihat, tanpa banyak berpikir, atau merasakan. 
Jika orang dewasa masih seperti itu? mungkin lupa, bahwa sudah  bukan anak-anak lagi.☺
Tepa salira: dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, menyikapi dengan bijak, adalah ciri orang yang berjiwa dewasa.
Julianti, Ciputat, 20072016

Minggu, 24 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Berani Jujur

CELOTEH ANAK

Berani Jujur

Nabasa sedang asyik dikamarnya membuat slime mainan pesanan temannya.
Tiba saat makan siang, tapi Nabasa belum keluar kamar juga. Ibu penasaran.

Ibu : “Nabasa... makan dulu...!"

Nabasa : “Iya, Bu... nanti....”

Ibu : “Nanti sakit perut kalau makannya terlambat lagi.” Membuka pintu kamar, terlihat berantakan, peralatan dan bahan-bahan untuk membuat slime. 
Wajah Nabasa tampak cemberut sambil terus mengaduk, meremas, menarik,  slime buatannya.

Ibu : “Kenapa cemberut?”

Nabasa : “Gagal.”

Ibu : “Apanya yang gagal?”

Nabasa : “Slime-nya kurang stretching, terus kalau ditekan-tekan kurang berbunyi.”

Ibu : “Kenapa bisa begitu?”

Nabasa : “Tadi mencoba resep baru, tapi hasilnya tidak seperti biasa, walau pun yang ini bisa lebih mengembang dan lebih lembut.” Mengkerutkan mulutnya, terlihat begitu kecewa.

Ibu          : "Kalau tidak biasa berarti luar biasa, dong!"

Nabasa   : "Ah, Ibu." Makin cemberut.

Ibu          : "Itu juga bisa dijual."

Nabasa   : "Kalau ini dijual, nipu orang, dong! Sudah tahu gagal."

Ibu      : "Ya... bilangin ke temannya, bahwa slime ini kurang stretching, bunyinya kurang, tapi lebih lembut dan mengembang. Katakan yang sebenarnya. Jika dia mau, bagus, kalau tidak mau pun tidak apa-apa, kan masih bisa dimainin, kasih Cia atau Kinan pasti senang."

Nabasa   : "Tidak apa-apa ya, Bu?"

Ibu         : "Tidak apa-apa, sebagai bahan percobaan, kalau tidak ada yang gagal, kita tidak akan tahu yang berhasil seperti apa."

Nabasa  : "Iya, deh." Nabasa memasukkan slime pada kemasan, membereskan peralatan yang berantakan, lalu cuci tangan dan makan siang.
Tidak lama temannya datang. Nabasa segera mengambil slime pesanannya, menceritakan keadaan slime itu, juga menunjukkan cara bermainnya.
Temannya tertarik dan mau beli.
Nabasa sangat senang, wajahnya berseri, tersenyum lebar, menghampiri ibu.

Nabasa  : "Alhamdulillah... Ibu... dia mau.. dibeli semuanya!"

Ibu      : "Alhamdulillah...." Tersenyum senang melihat Nabasa berani mengakui kekurangannya, dan tidak cemberut lagi.


Berani jujur atas ketidaksempurnaan, kadang sulit. Apalagi jika menyangkut masalah untung rugi, kekurangan sering dimanipulasi, agar tertutupi, kelebihan dipangkas bahkan dikorupsi. 
Berani jujur, harus ditanamkan dari sejak dini. Semoga menjadi berkah dikemudian hari.
Julianti, Ciputat, 23072016

Kamis, 21 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Sabar

CELOTEH ANAK

Sabar 

Memiliki anak sehat tentu dambaan seorang ibu. Banyak cara dilakukan, diantaranya dengan memberi makanan yang bergizi. Namun kadang harapan ibu tidak sejalan dengan selera makan anak. Seperti yang dialami Kinanti saat makan siang disuapi ibu.

Ibu         : "Kinan... ayo makannya ditelan, jangan diemut."

Kinanti  : "Sabar, Bu." Sambil matanya terfokus pada tv.

Ibu         : "Kalau makannya diemut terus, tv-nya Ibu matiin ya!" 

Kinanti  : "Sabar, Bu." Mengambil remote tv, 
menyembunyikannya di balik  baju.

Ibu   : "Sabar, sabar, emangnya tahu apa itu sabar?" menatap Kinanti yang masih fokus ke tv.

Kinanti  : "Sabar itu... Ibu harus tunggu, kinan kan lagi ngunyah."

Ibu         : "Ngunyahnya kelamaan."

Kinanti : "Ah, Ibu. Kinan... tidak suka sayur, jadi ngunyahnya lama."

Ibu          : "Makan sayur itu sehat..., juga bikin cantik."

Kinanti  : "Iya... makanya Ibu harus sabar, biar Kinan sehat dan cantik."

Ibu      : "Hhmmm... iya tapi kalo diemut terus nanti giginya rusak."

Kinanti : "Iya... iya... nih Kinan kunyah cepat." Kepalanya manggut-manggut sambil mulut mengunyah, seakan gerakan kepala adalah efek dari mengunyah cepat.

Ibu          : "Hehehe...." Tertawa melihat tingkah Kinanti.


Sabar menurut celotehan Kinanti yaitu ibu harus mau menunggu proses, agar harapan sejalan dengan kenyataan. Sebab harapan baik, belum tentu berjalan baik, banyak faktor yang dapat mempengaruhi, disinilah kesabaran diuji.
Julianti, Ciputat, 02072016

Senin, 18 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Kematian

CELOTEH ANAK

Kematian

Hari sabtu, Alecia tidak masuk sekolah dikarenakan libur, ia menemani ibu membereskan tempat tidur. 

Ibu   : "Nanti kalau sudah SD, Cia harus sudah  bisa membereskan tempat tidur sendiri, ya...!" Sambil melipat selimut.
Alecia     : "Ooo... kalau sudah sebesar Teteh, ya?"
Ibu          : "Iya." 
Alecia   : "Kalau setelah SD, itu SMP ya, Bu?" berjalan menuju sudut kamar dan terdiam di depan cermin besar, melihat dengan seksama tubuhnya yang tampak jelas di cermin dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ibu          : "Iya, betul." Menoleh ke arah Alecia.
Alecia     : "Terus SMA, kuliah, kerja, terruuus... jadi seperti Ibu?" 
Ibu          : "Iya."
Alecia    : "Ah, Cia tidak mau seperti Ibu." Sambil terus menatap ke arah cermin.
Ibu          : "Kenapa?" mendekati Alecia sambil tersenyum heran.
Alecia    : "Kalau Cia jadi seperti Ibu, nanti Ibu jadi nenek-nenek dan meninggal. Cia ngga mau! Nanti tidak ada Ibu lagi."
Ibu memeluk Alecia.
Ibu      : "Tidak apa-apa... kan nanti Cia kalau sudah dewasa, punya suami, punya anak. Sama seperti Ibu sekarang, punya Cia."
Alecia  : "Tapi... nanti... Cia... tidak punya ibu lagi kalau meninggal." Alecia memeluk ibu sambil terisak. Air mata berderai, membasahi pipinya yang sedikit tembam.
Ibu terharu mendengar ucapan Alecia, namun tetap tersenyum menatap wajah buah hatinya yang basah oleh air mata. 
Ibu          : "Jangan takut, itu kan masih lama... banget."
Alecia     : "Cia tidak mau...."
Ibu       : "Ibu, Ayah, Teteh, Cia, Kinan, dan semua yang ada di alam ini, adalah punya Allah. Jadi... kalau Allah mau mengambilnya... kita tidak bisa melarang, tidak usah bersedih. Setiap yang hidup itu pasti akan mati, hanya kita belum tahu waktunya kapan. Sekarang Ibu masih ada. Makanya... Cia... jadilah anak yang baik, rajin belajar,  solehah, sayang Ibu, Ayah, Teteh, Kinan, dan semua, Ok! Biar kita semua senang...." Ibu tersenyum lebar, memberi semangat.
Alecia     : "Iya, Bu...." Menahan isak.
Ibu          : "Ayo sekarang mandi dulu, boleh sambil main air, ajak Kinan sekalian."
Alecia     : "Iya. Boleh sambil mandiin barbie?" 
Ibu          : "Iya, boleh."
Alecia berjalan menuju teras rumah, memanggil Kinanti, mengajaknya mandi bersama. 
Kinanti yang sedang asyik melihat kucing, menyambut ajakan Alecia. 
Mereka pun tertawa senang, bermain air sambil memandikan boneka.

Celotehan anak umur lima tahun tentang kematian, menyentil pikiran dan perasaan, sebab kita sebagai òrang dewasa sering lupa, terlena dengan kehidupan dunia yang fana.
Mati itu pasti, maka hendaklah kita selalu bijak dalam menyikapi hidup ini.
Julianti, Ciputat, 07112015

Jumat, 15 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Kesepakatan

CELOTEH ANAK
Kesepakatan

Alecia dan Kinanti sedang bermain boneka sambil tebak-tebakkan huruf, belajar membaca ala mereka.

Kinanti    : "A, itu aku, B, itu baju,  C, cukup."
Alecia      : "Kalau digabung, jadinya... baju  aku cukup."
Keduanya pun tertawa senang
Kinanti    : "Horeyy.... Cia hebat! Nah, kalo 'O' itu 'Kaos"
Alecia      : "Bukan! Kaos, itu... K O N G S O P Q R S T U."
Kinanti    : "Hahahaha.... Cia pintar!"  Sambil bertepuk tangan.
Alecia      : "Emang apa dibacanya?"
Kinanti    : "Ga tahu!"
Alecia      : "Hahahahah...."
Kinanti    : "Emang apa?
Alecia      : "ngasal aja!"
Kinanti    : "Hahahahah.... Kita hebat! Kita hebat!" Kinanti sambil mengacung-acungkan bonekanya.
Keduanya tertawa makin girang.

Bagi mereka, benar atau salah tidak jadi masalah, yang penting sepakat bahwa itu menyenangkan.
Jika sudah ada kata 'Sepakat' sulit untuk diganggu gugat. Itulah anak-anak, mereka adalah cermin bagi kita.

Jika ingin benar-benar belajar, bertanyalah pada ahlinya.
Julianti, Ciputat, 27062016

Kamis, 07 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Mengenal Ciptaan-Nya

CELOTEH ANAK

Mengenal Ciptaan-Nya

Dalam perjalanan. 
Dari panasnya Jakarta, sampai sejuknya udara Puncak Cianjur, kami bercakap-cakap. 
Lewat kaca jendela mobil, melihat pemandangan sekitar, bermacam bangunan, gedung-gedung bertingkat, membuat aneka tanya dari anak-anak.
Alecia merasa kagum, "Bu, itu bagunan apa yang tinggi banget?"
"Itu gedung perkantoran, yang di sana hotel." Jawab ibu.
"Ciptaan siapa?"
"Ciptaan manusia."
"Hebat ya, manusia bisa bikin gedung tinggi sekali. Gimana bikinnya?"
"Iya hebat, dong. Manusia kan dikasih akal, pikiran, dan perasaan, oleh Allah. Dengan itu semua maka manusia berkarya, ada yang bikin gedung, jalan, mobil, pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dan yang lainnya."
"Mereka berpikir pake otak ya?" Alecia sambil menunjuk kepalanya.
"Iya." Jawab ibu.
Anak-anak terdiam, sambil melihat ke luar, mengamati setiap yang dilewati.
Kami pun sampai di Puncak, udara terasa sejuk, gunung dan bukit-bukit hijau, memberi rasa nyaman. 
"Wooowww... indahnya!" Nabasa membuka jendela.
Alecia dan Kinanti mengikuti membuka kaca jendela mobil yang melaju sedikit pelan.
Alecia menatap gunung dan bukit kebun teh, "Kalau bukit, pohon, gunung, itu ciptaan siapa?"
Ayah yang sedang menyetir dan Nabasa yang sedang menikmati pemandangan, menjawab berbarengan,  "Ciptaan Allah."
Kinanti ikut bertanya, "Ayah Allah itu yang gimana?"
"Allah tidak seperti manusia, tapi Allah maha besar, bukan besar badannya, ya!" Jawab ayah sambil tersenyum.
"Oh iya..... Allah itu besar kepalanya!" Alecia menceletuk.
"Hahahahaha....." Semua tertawa.
Kinanti ingin membetulkan jawaban Alecia. Ia pun berkomentar. "Bukan besar, Cia..... tapi... s e d e n g !"
"Hahahaha..... " kami tertawa makin kencang.
"Manusia aja, kepalanya segini, bisa bikin gedung, apalagi Allah bikin gunung dan bukit." Alecia berargumen.
Dengan sisa tawanya, ibu berkata. "Kan ayah tadi udah bilang, Allah tidak seperti manusia."
"Terus gimana?" Alecia penasaran.
"Tidak tahu, yang pasti Allah itu adalah kekuatan yang maha dahsyat, tidak bisa digambarkan, kita hanya bisa menikmati ciptaannya. Gunung, pohon, awan, langit, laut, dan.... banyak." Lanjut ibu.
Anak-anak terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan.

Rasa ingin tahu anak-anak begitu besar, bahkan mengenai keberadaan Tuhan, yang kadang orang dewasa pun memperdebatkannya hingga banyak timbul keributan. 
Untungnya pikiran anak-anak itu sederhana. Semua hal dianggapnya bermain, jadi tidak ada indikasi saling menjatuhkan.
Julianti, Cianjur, 05052016



Minggu, 03 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Merasa Benar

CELOTEH ANAK

Merasa Benar

Bulan puasa, anak-anak ikut bersemangat menjalankan puasa, termasuk Kinanti, ia selalu ikut sahur, lalu puasa sampai dzuhur atau sekuatnya saja.
Siang hari saat Kinanti sedang makan, datanglah Hanif, usia dua setengah tahun, teman bermain Kinanti, Menghampiri.
"Ninang..... Ninang.....!" Dengan logat cadel Hanif memanggil.
"Iya..... masuk aja, Hanif sini......!" Sahut Kinanti.
Hanif masuk ke dalam rumah.
"Hanif puasa ga?" Tanya Kinanti.
"Ngga." Hanif sambil melihat sekeliling rumah, mencari sesuatu yang dapat dia mainkan.
Kinanti berbisik di telingaku, "Bu, Hanif itu kan sesama Kinan, ya! Tapi kok dia tidak puasa. Kinan aja puasa!"
Aku tertawa mendengar bisikan Kinanti, sambil memperhatikan mulutnya yang penuh dengan nasi, "Hahahaha..... itu kinan lagi ngunyah."
"Iya..... kan makan dulu, nanti puasa lagi." Jawab Kinanti percaya diri.
"Ooo..... begitu, jadi Kinan lagi belajar puasa ya."
"Iya." Kinanti sambil menghampiri Hanif yang sedang bermain lego.


Anak-anak, ya begitulah.
Kadang kita pun seperti mereka.☺😀
Julianti, Ciputat, 17 Juni 2016
"Merasa benar" belum tentu benar, sebab masih merasa. (Renungan Zaman, Buanergis Muryono)


CELOTEH ANAK-Belajar

Ciputat, 03 Juli 2016

CELOTEH ANAK

BELAJAR

Hujan ŕintik mengantarkan anak-anak pulang dari bermain ďi luar. Nabasa sepuluh tahun, Alecia lima tahun, Kinanti empat tahun, masuk rumah dan menyerbu kulkas, mereka menemukan buah rambutan. Nabasa segera mengambilnya dan membagikan dengan adil, masing-masing dapat lima biji. 

Nabasa bercita-cita menjadi seorang guru, maka bila ada kesempatan ia selalu ingin mengajari adik-adiknya, saat itu Kinanti diajari berhitung oleh Nabasa.
"kinan, rambutan Kinan, kan ada lima, kalau dimakan satu, sisanya berapa?" Tanya Nabasa.
Kinanti melihat rambutan yang ia letakkan di atas meja, lalu mengambilnya satu. "tinggal empat."
"kalau dimakan dua?"
Kinanti kembali mengambil rambutannya. "tinggal tiga."
"kalau dimakan empat?"
Kinanti mengambil empat rambutan di pegang oleh kedua tangannya yang mungil, hampir jatuh tidak tergenggam. "Tinggal satu, lah!"
"Pinteeerrr..... Sekarang kalau dimakan semuanya?" 
"Ya..... Kinan kenyang!" 
"Hahahahaha....." Jawaban polosnya membuat kami tertawa. 
Nabasa mencoba menjelaskan, "Jadi nol, Kinan! Kan habis semua."
"Kinan tahu, kok! Nol itu bulat seperti perut kinan yang kenyang." Kinanti sambil memperlihatkan perutnya yang dikembungkan. 
"Hahahahaha....." Kami tertawa lagi.
"Kinan hebat.....!" Alecia tepuk tangan.


Belajar sambil bermain, itulah anak-anak.
Mengajari atau diajari, adalah sama-sama belajar. Saling memberi, bagi yang mau memahami. 
Julianti, Ciputat, 12 012016

Jumat, 01 Juli 2016

CELOTEH ANAK

Ciputat, 02 Juli 2016

Kata Pengantar

Anak-anak merupakan cermin bagi orang tua. Perilaku apa adanya, jujur, lugas, itulah anak-anak. Kadang kita juga sebagai orang tua lupa bahwa dulu pernah menjadi anak-anak, maka sering memaksakan, menuntut anaknya untuk selalu mengikuti kehendak orang tua.
Sebagai ibu, saya sering memperhatikan tingkah, prilaku, percakapan anak. Lucu, kadang juga membuat terharu. Dan ternyata di balik kepolosannya banyak yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi orang tua atau siapa pun yang mau.
Julianti, 02072016, 05.42


CELOTEH ANAK

Cerita tentang anak-anak memang sering membuat kita tersenyum, apalagi anak-anak kita sendiri yang kadang sampai tidak percaya, "Kok bisa mereka seperti itu." Rasa heran, haru, kagum, hingga menimbulkan perasaan tersendiri tatkala mengamati.

Ada cerita dari Alecia dan Kinanti:

Alecia tersiram air panas saat terapi menghirup uap bawang putih. Kulit dadanya merah, melepuh. Ia pun mengaduh, "Aaawww..... sakit..... perih....Ibu.... tolong.....!" Aku panik, kuambil minyak kelapa murni, kusiramkan pada lukanya. Ia masih mengaduh, "Aduuuh..... Ya Allah tolong ...... sembuhkan aku.....!"
Tidak kuasa menahan derai air mata, mendengar seorang anak usia lima tahun memohon pertolongan pada Tuhannya. Segera akubawa ia ke Rumah Sakit, sepanjang perjalanan, mulut mungil itu tidak berhenti mengaduh dan menyebut-nyebut nama-Nya.
Sampai di UGD, dokter dan paramedis memberikan perawatan dengan baiķ. Luka-luka tadi terbungkus perban putih. Selesai pengobatan, dokter memperbolehkan kami pulang, memberi arahan untuk melanjutkan perawatan di rumah, dan kami debekali aneka obat.

Keesokan harinya, tiba saat untuk mengganti perban. Kubuka satu persatu perekat perban. "Aaawww....!" Alecia teriak.
Kinanti, usia tiga setengah tahun, adik Alecia , datang menghampiri, dan menyodorkan tangannya, "Cia, Cia, ini tangan kinan pegang, deh!  Nah, terus bayangkan... cia itu sekarang udah sembuh, lalu bilang!"
Alecia mempraktikkan perkataan adiknya,  ia pegang tangan Kinanti, dan mulutnya berucap, "Aku sembuh.....Aku sembuh..... Aku sudah sembuh!" Sambil tertawa kecil.
Kinanti senang, ikut tertawa.
Aku pun tertawa heran, kenapa anak bocah, tiga setengah tahun sudah mempraktikkan teknik NLP (Neuro linguistic Programming) Teknik mengubah pola pikir untuk mengurangi rasa sakit yang diderita kakaknya.
Aku pun bertanya, "Kinan, belajar dari mana itu?"
"Ga tahu." Kinanti sambil cengar cengir, memperhatikanku mengobati luka Alecia.

Begitulah, anak-anak, dengan pikirannya yang sederhana, dapat memberikan hal yang luar biasa, bila kita mau mengamatinya.
Julianti, Ciputat, 15 Àgustus 2015