CELOTEH ANAK
Syukur
Alecia dan Kinanti baru sampai rumah setelah dijemput ibu dari sekolah, sebelum masuk, mereka membuka sepatu dan kaos kaki di teras rumah lalu menyimpannya di rak sepatu.
Alecia duduk di kursi depan TV sambil membuka baju seragam sekolahnya.
Kinanti mengikuti dan langsung mengambil remote TV dari atas meja.
Kinanti : "Kok TV-nya tidak bisa nyala?" menekan tombol remote berkali-kali, lalu mendekati TV menekan tombol power di bagian bawah.
TV menyala, tapi terlihat gambar warna-warni pelangi tidak beraturan di layar.
Ibu : "Itu TV-nya lagi rusak." Jawab ibu sambil meletakkan kunci motor di gantungan tempat kunci.
Kinanti : "Tidak bisa nonton dong!" Mematikan TV dan meletakkan kembali remote di atas meja.
Alecia ; "Ya... tidak apa-apa, biar tidak nonton TV mulu ya, Bu?" menoleh ke arah ibu.
Ibu : "Iya...." Tersenyum sambil berjalan menuju lemari, mengambil baju ganti untuk Alecia dan Kinanti.
Alecia berganti seragam sekolah dengan pakaian rumah, lalu berjalan menuju tempat cucian baju, menaruh seragam ke tempat pakaian kotor dan kembali mendekati ibu.
Alecia : "Bu, HP mana?"
Ibu : "Di tas Ibu." Menunjuk ke arah tas di atas meja.
Alecia membuka tas, mengambil HP, mengutak-atik.
Alecia : "Kok You Tube tidak bisa, Bu?"
Ibu : "Iya... internetnya mati, gangguan dari pusatnya, jadi tidak bisa Wi-Fi."
Kinanti : "Tidak apa-apa... biar tidak main HP mulu." Mengomentari dengan santai.
Alecia menekuk mulutnya, menoleh ke arah Kinanti, meletakkan HP di atas meja.
Ibu tertawa kecil sambil membantu Kinanti berganti pakaian.
Kinanti : "Kita main di taman aja, yu!" Mengajak Alecia.
Alecia : "Iya, ayo!" Tampak semangat
Kinanti : "Bu... temenin main ke taman, ya!"
Ibu menghela napas, diam sejenak, terasa badannya masih capek, hasrat hati ingin beristirahat di rumah saja, tapi melihat anak-anaknya tidak mengeluh saat TV rusak, internet mati, maka ibu memutuskan untuk menemani bermain di taman yang terletak di ujung jalan perumahan tempat mereka tinggal.
Ibu : "Iya, nanti Ibu temani, tapi sambil makan, ya!"
Alecia : "Iya...."
Kinanti : "Horrreee...!" Bersorak dengan girang.
Ibu menyiapkan makanan dan minuman yang hendak dibawa ke taman.
Mereka berangkat bersama-sama dalam cuaca yang cukup terik.
Alecia dan Kinanti memakai payung mini.
Ibu mengenakan topi.
Sampai di taman, Alecia dan Kinanti menuju ayunan dan asyik bermain di bawah rindang pepohonan.
Ibu menyuapi makan.
***
Anak-anak ini tidak mengeluh dan dapat menerima keadaan saat TV rusak, internet mati. Bahkan mereka mencari solusi agar tetap dapat menikmati hari, yaitu dengan pergi ke taman untuk bermain.
"Tidak mengeluh," adalah wujud dari rasa syukur. Itulah pelajaran yang didapat ibu dari sikap dan celotehan anak-anaknya.
Julianti, Ciputat, 26082016
Sabtu, 27 Agustus 2016
Selasa, 23 Agustus 2016
CELOTEH ANAK - Keluarga
CELOTEH ANAK
Keluarga
Alecia dan Kinanti sedang bermain kuis-kuisan, Alecia sebagai Host yang memberi pertanyaan, Kinanti sebagai peserta, menjawab.
Beberapa pertanyaan asal-asalan dan jawaban asal-asalan telah dilontarkan, hal ini membuat ibu dan Nabasa tersenyum memperhatikan, dan sampailah pada pertanyaan yang membuat ibu merasa lucu juga haru.
Alecia : "Kinan, apa yang lebih berharga dari emas berlian?
Kinanti : "Emas berlian itu yang gimana?"
Alecia : "Emas berlian itu yang sering ada di harta karun."
Kinanti : "Ooo... yang selalu dicari Kapten Hook, ya?
Alecia : "Iya."
Kinanti : "Hhhmmm... apa ya?" Telunjuknya mengetuk-ngetuk pipi, mulut ditekuk, mata lirik kanan kiri atas bawah, tanda sedang berpikir.
Alecia : "Tet tot... habis waktu! Jawabannya adalah... KELUARGA!"
Kinanti : "Yaa... kalau KELUARGA sih Kinan tahu!"
Alecia : "Apa?"
Kinanti : "Ayah, Ibu, Teteh, Cia, Kinan."
Alecia : "Ya, betul...! Terus, kenapa coba, Kapten Hook selalu mencari harta karun?"
Kinanti : "Karena tidak ada Teteh, Cia, Kinan, Ibu dan Ayah!"
Alecia : "Betul...!"
Keduanya bersorak sangat girang.
Ibu dan Nabasa ikut bertepuk tangan.
***
Lucu memang, terkadang kepolosan anak-anak dapat mengeluarkan celotehan tentang kebijakan yang seringkali sudah terlupakan oleh kita para orang tua, bahwa harta yang lebih berharga dari emas berlian adalah keluarga, dan KELUARGA merupakan HARTA yang NYATA bagi anak-anak.
Julianti, Ciputat, 21082016
Keluarga
Alecia dan Kinanti sedang bermain kuis-kuisan, Alecia sebagai Host yang memberi pertanyaan, Kinanti sebagai peserta, menjawab.
Beberapa pertanyaan asal-asalan dan jawaban asal-asalan telah dilontarkan, hal ini membuat ibu dan Nabasa tersenyum memperhatikan, dan sampailah pada pertanyaan yang membuat ibu merasa lucu juga haru.
Alecia : "Kinan, apa yang lebih berharga dari emas berlian?
Kinanti : "Emas berlian itu yang gimana?"
Alecia : "Emas berlian itu yang sering ada di harta karun."
Kinanti : "Ooo... yang selalu dicari Kapten Hook, ya?
Alecia : "Iya."
Kinanti : "Hhhmmm... apa ya?" Telunjuknya mengetuk-ngetuk pipi, mulut ditekuk, mata lirik kanan kiri atas bawah, tanda sedang berpikir.
Alecia : "Tet tot... habis waktu! Jawabannya adalah... KELUARGA!"
Kinanti : "Yaa... kalau KELUARGA sih Kinan tahu!"
Alecia : "Apa?"
Kinanti : "Ayah, Ibu, Teteh, Cia, Kinan."
Alecia : "Ya, betul...! Terus, kenapa coba, Kapten Hook selalu mencari harta karun?"
Kinanti : "Karena tidak ada Teteh, Cia, Kinan, Ibu dan Ayah!"
Alecia : "Betul...!"
Keduanya bersorak sangat girang.
Ibu dan Nabasa ikut bertepuk tangan.
***
Lucu memang, terkadang kepolosan anak-anak dapat mengeluarkan celotehan tentang kebijakan yang seringkali sudah terlupakan oleh kita para orang tua, bahwa harta yang lebih berharga dari emas berlian adalah keluarga, dan KELUARGA merupakan HARTA yang NYATA bagi anak-anak.
Julianti, Ciputat, 21082016
Selasa, 16 Agustus 2016
#MyCupOfStory - KOPI SEJATI
KOPI SEJATI
Karya Cipta:
Julianti
Satrio menyusuri jalan
setapak tepi danau, menuju padepokan Mbah Sukmo, dia hendak sowan, sudah lama
tidak bertemu Sang Guru.
Kanan kiri
jalan ditumbuhi rumput jampang dan ilalang.
Hujan siang tadi cukup
deras, hingga meninggalkan bekas,
genangan air, membuat becek dan licin.
Sepatu hitam mengkilat
hasil disemir tadi pagi, dijinjing, sebab lebih nyaman berjalan dengan kaki
telanjang.
Kurang lebih lima
ratus meter jarak dari jalan raya ke padepokan Mbah Sukmo.
Sesampai di pintu gerbang, Satrio menuju pinggir
danau mencuci kaki. Setelah bersih,
kembali mengenakan sepatu, berjalan menuju Pendopo Utama yang terletak di
tengah-tengah antara saung-saung kecil yang terbuat dari bambu, beratap daun
kirei.
Satrio mengucap salam.
"Assalamualaikum...." Melihat sekeliling mencari orang di sekitar
pendopo, sepi seperti tidak berpenghuni. "Assalamualaikum...
permisi...!" Belum juga ada jawaban. Satrio duduk di bangku bawah pohon
kersen, bersandar dengan kepala menatap ke atas, terlihat banyak sekali buah
kersen yang matang, berwarna merah,
tampak menggoda untuk dipetik dan dinikmati. Satrio naik ke atas bangku
bambu tempat yang tadi dia duduki, memetik buah kersen dengan asyik sekali.
Sesaat sebelum buah
kersen itu masuk mulutnya, tiba-tiba...,
"Eeehhh... Ada tamu." Suara itu
mengagetkan Satrio, buah kersen yang hendak dia masukkan ke mulut, terjatuh.
"Eh, iya. Mbah... kaget saya." Satrio
mengelus-elus dadanya.
Rupanya pemilik suara
tadi adalah Mbah Sukmo.
"Kamu sih, terlalu asyik metik kersen."
Sahut Mbah Sukmo.
"Hehehe... jadi malu saya."
"Wis, ojo
malu-malu. Ayo, mau masuk atau makan kersen dulu?" Mbah Sukmo dengan nada
santai.
"Iya, Mbah. Saya masuk saja." Satrio turun
dari bangku, lalu berjalan mengikuti Mbah Sukmo, menuju saung di sudut barat
pinggir danau, di antara pohon paku-pakuan yang tumbuh subur .
Matahari
senja mulai tampak, seiring angin meniup awan-awan kelabu yang tadi menutupi
langit.
Satrio berdiri menatap
jauh ke sudut danau, menikmati pantulan cahaya matahari pada air danau yang
jernih, tampak seperti cermin, cermin danau yang menunjukkan keindahan,
kemolekan cakrawala senja yang sungguh luar biasa.
"Potret saja, jika kau mau, agar jadi sesuatu
yang dapat dinikmati suatu saat nanti." Mbah Sukmo sambil mengeluarkan HP
dan membidikkan kameranya.
"Iya, Mbah." Satrio mengikuti.
"Matahari senja itu begitu elok dan lembut,
maka jangan sampai kau kehilangan momen berharga ini, kita bisa banyak belajar
darinya." Mbah Sukmo sambil terus mengambil gambar-gambar cakrawala yang
mempesona.
"Iya Mbah, indah banget." Jawab Satrio.
Sementara
Satrio dan Mbah Sukmo asyik memotret, datanglah Amen membawa baki dengan
cangkir-cangkir kopi di atasnya.
"Taro di dalam saung saja, Men....! Terimakasih
ya...." Mbah Sukmo menoleh ke arah
Amen.
"Iya, Mbah. Sama-sama." Jawab Amen.
"Itu kopi kita sudah datang, ayo ngopi
dulu!" Ajak Mbah Sukmo. Berjalan menuju ke dalam saung.
Satrio
mengikuti.
Mereka
duduk berhadapan, di antara cangkir-cangkir kopi yang masih mengepul.
"Oh iya, jadi ingat, saya juga bawa kopi di
tas." Satrio membuka tasnya, mengeluarkan bungkusan plastik berisi kopi.
"Ini, Mbah... kopi Lampung, hasil
kebun kami, produksi sendiri, Mbah pasti suka, rasanya mantap."
Memberikan bungkusan kopi pada Mbah Sukmo.
"Wah... terimakasih banyak, kopi sejati pasti
mantap."
"Kopi... sejati?" Satrio menatap Mbah
Sukmo mengharap penjelasan.
"Iya, mulai dari benih, ditanam, dirawat,
dipanen, diolah, hingga diseruput mulut, jika dilakukan dengan penuh cinta
kasih, pasti rasanya nikmat, sebab segala sesuatu di alam ini memiliki jiwa,
maka sentuhlah dengan jiwa."
"Ooo... iya, Mbah." Satrio tersenyum,
menoleh ke arah kopi yang tersaji di
cangkir. Terdapat empat cangkir. Dia merasa heran, mengapa ada empat
cangkir, sedangkan mereka hanya berdua.
Belum
sempat bertanya, Mbah Sukmo sudah memulai pembicaraan.
"Sudah satu minggu ini ada Mbah Bidho dan Mbah
Macan rawuh."
"Ada di sini sekarang, Mbah?"
"Iya." Jawab Mbah Sukmo.
Satrio
menoleh ke kanan kirinya, melihat sekeliling, sepi, hanya mereka berdua di
situ.
"Di mana Mbah Bidho sama Mbah Macan?"
"Di sini, sekarang bersama kita." Tegas
Mbah Sukmo.
Satrio
tersenyum menatap Mbah Sukmo, menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak mengerti.
"Coba kamu pakai kamera HP-mu, potret
saya!" Pinta Mbah Sukmo.
Satrio
mengambil HP, membidikkan kameranya,
mengambil posisi clos up, memotret
Mbah Sukmo.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Mbah Sukmo.
Satrio
tertegun melihat foto hasil jepretannya, menoleh ke arah Mbah Sukmo,
"Mbah, boleh saya coba sekali lagi?"
"Ya... silahkan!"
Satrio
membidikkan kameranya kembali, masih terlihat wajah Mbah Sukmo di layar kamera.
Lalu dia klik, hasil fotonya sama
seperti tadi yang pertama dia potret.
"Apa yang kaulihat?" Tanya Mbah Sukmo.
"Hhmm... ini Mbah." Satrio menggeser
duduknya, mendekati Mbah Sukmo, memperlihatkan hasil jepretan kameranya,
"Ini seperti sebongkah berlian, kilauan-kilauan cahayanya sangat cantik,
seperti diliputi pelangi." Satrio terlihat kagum.
"Ya, itu Mbah Bidho Cakrawala Angkasa. Penguasa
Angkasa." Jawab Mbah Sukmo, sambil melepas ikat kepalanya.
"Ooo...," mengamati dengan seksama
fotonya. "Terus bisakah saya melihat Mbah Macan?" Tanya Satrio.
"Coba saja." Mbah Sukmo mengurai rambutnya
yang panjang, putih, seputih warna kumis dan jenggotnya yang panjang. Mbah
Sukmo mengambil rokok kreteknya, menyalakan korek, membakar ujung rokok hingga
timbul bara, menyedot, lalu keluar asap dari mulutnya.
Satrio
kembali ambil posisi memotret. Klik.
Dia langsung melihat hasil kameranya, mengerutkan dahi, menatap dengan seksama.
Kembali mendekati Mbah Sukmo, "Mbah, yang ini cahaya pelanginya membentuk,
menyerupai kepala macan, menyeramkan tapi mempesona."
Mbah Sukmo
menghela napas panjang, menatap tajam Satrio, "Itulah Mbah Macan."
Mbah Sukmo kembali menyedot rokoknya sambil mengelus jenggot serta mengenakan
ikat kepalanya seperti semula.
Satrio
masih menatap kamera. Suasana hening sejenak, hanya terdengar samar-samar suara kendaraan lalu-lalang dari
kejauhan.
"Ayo kopinya diminum dulu!" Mbah Sukmo
mengambil cangkir kopinya, menyeruput hingga terdengar bunyi dari mulutnya.
"Iya, Mbah. Terimakasih." Satrio
mengikuti, menyeruput kopinya. "Mbah, ini kopi yang dua untuk Mbah Bidho
dan Mbah Macan, ya?" Mengarahkan pandangan pada kedua cangkir yang ada di
hadapan mereka.
"Bukan, beliau sukanya ikan, aroma sere dan
alang." Jawab Mbah Sukmo.
"Terus ini buat siapa?" Satrio heran.
"Mbah-mu!"
"Ooo... buat Mbah?"
"Iya, Mbah-mu." Mbah Sukmo dengan santai.
"Hehehe... saya serius nih, Mbah." Satrio
tertawa mendengar ucapan Mbah Sukmo yang seperti meledeknya.
"Lha,
aku juga serius!" Mbah Sukmo menatap Satrio.
"Maksudnya?"
"Kamu tidak tahu dari tadi ada Mbah Putri dan
Mbah Kakung ikut bersamamu?"
"Masa sih, Mbah?"
"Aku tahu kopi yang kamu bawa itu pasti mantap,
sebab Mbah-mu dulu menanam, memelihara dan mengolahnya penuh cinta kasih, nah
sekarang beliau wariskan perkebunan itu untuk dikelola keluargamu, bukan?"
"Kok Mbah Sukmo tahu?"
"Lha,
Mbahmu yang cerita ke aku, tadi kami berbincang." Mbah Sukmo menyedot
rokok, meniupkan asap dari mulutnya. "Aku yakin perkebunan kopi, dan
pabrik pengolahan kopi milik keluargamu akan sukses, asalkan kalian tidak
serakah, baik terhadap sesama manusia atau pun alam semesta, dan harus selalu
kalian pegang nilai-nilai yang sudah diwariskan oleh Mbah-mu juga para
leluhurmu." Mbah Sukmo berpesan
pada Satrio.
"Iya, Mbah." Satrio menunduk mendengarkan
pesan Mbah Sukmo.
Suasana
sekitar danau berangsur gelap, senja berganti malam, cuaca terasa dingin, awan
di langit sudah menebal lagi, tidak lama hujan pun turun.
"Waduh, hujan!" Keluh Satrio.
"Hujan itu kan berkah, mengapa kau
keluhkan?" Mbah sukmo sambil menatap air hujan jatuh di air danau.
"Iya, Mbah. Tapi masalahnya saya harus segera
pulang, tadinya mau pamitan sebab ada janji sama klien setelah ini."
"Ooo... kalau begitu coba kamu bikinin kopi
dulu satu gelas, pakai kopimu. Tuh, sana ke dapur, ada Amen, minta bantuan
dia." Pinta Mbah Sukmo.
"Baik Mbah." Satrio berjalan menuju dapur
yang terletak di saung sudut utara.
Beberapa menit kemudian dia kembali membawa segelas
kopi. "Ini kopinya, Mbah."
"Persembahkan aromanya untuk hujan, minta
hujannya pindah dulu ke kota lain, sebab kamu mau lewat." Tutur Mbah
Sukmo.
Satrio
mempraktikkan petunjuk Mbah Sukmo. Dia berjalan menuju pinggir saung sambil
memegang segelas kopi, meletakkannya di bangku teras dengan hati-hati, sambil
berbisik, "Puniko unjuk dahar
sekedaripun. Monggo dipun tampi pisungsun saking Satrio."
Satrio
menengadah ke langit, kedua tangannya mengembang merentang seiring pandangan
mata. Rambutnya yang ikal agak gondrong
terkena tampias air hujan, hingga terlihat titik-titik bening seperti
embun.
Tiga puluh
menit kemudian hujan pun redalah, bahkan berhenti.
Satrio
menangkupkan kedua tangan di wajahnya, lalu menatap cakrawala, "Wah...
luar biasa! Kopi ini sungguh dahsyat, ajaib, bisa menghentikan hujan!"
Satrio tersenyum lebar. Pemuda tampan berkulit sawo matang itu pun merunduk
hormat pada Mbah Sukmo.
"Karena kau memberikannya dengan tulus. Dan tepat
sekali, kopimu memang dahyat dan ajaib, karena dari awal sampai akhir, diproses dengan
penuh cinta kasih."
Mbah Sukmo tersenyum.
"Keren, Mbah! Saya sudah punya merek untuk kopi
saya, yaitu..., KOPI SEJATI." Satrio menggerakkan alisnya, menatap Mbah
Sukmo, tanda meminta persetujuan.
"Iya, bagus, KOPI SEJATI: ditanam, dirawat,
diproses, dan disajikan sepenuh hati dengan cinta kasih." Mbah Sukmo
tersenyum lebar.
Tidak lama Satrio pun
pamitan. Melangkah meninggalkan padepokan dengan perasaan senang.
***
Julianti, Ciputat 17 Agustus 2016
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com*
Rabu, 10 Agustus 2016
CELOTEH ANAK - Kata Hati
CELOTEH ANAK
Kata Hati
Saat liburan lebaran, sungguh menyenangkan, di mana semua anggota keluarga, sanak saudara berkumpul, bercengkerama, saling bertukar cerita. Begitu pun bagi anak-anak, mereka terlihat bahagia bermain bersama.
Kinanti paling kecil diantara saudara-saudaranya yang lain, tapi ia tidak mau kalah, tidak mau ketinggalan jika kakak dan saudara-saudaranya bermain atau berjalan-jalan, selalu ikut serta.
Saat Nenek menyuruh cucunya yang sudah besar untuk membeli bumbu ke warung yang jaraknya cukup jauh, Kinanti memaksa ingin ikut. Akhirnya semua saudara yang lain juga ikut.
Sepulang dari warung, Kinanti menghampiri ibu dengan wajah cemberut, matanya berkaca-kaca.
Kinanti : "Ibu...."
Ibu : "Ya, kenapa, Kinan?"
Kinanti : "Ibu pernah ga dibohongi?"
Ibu : "Hhmm... pernah."
Kinanti : "Ga enak kan, Bu?" Air matanya mulai menetes.
Ibu : "Iya. Emang kenapa, Kinan dibohongi?" Menatap wajah Kinanti yang sudah basah dengan air mata.
Kinanti : "Iya." Terisak-isak.
Ibu : "Dibohongi gimana?"
Kinanti : "Tadi Kinan ikut ke warung, pulangnya Kinan jalan paling depan, kata yang lain, 'terus aja lurus', pas Kinan lihat ke belakang, mereka sudah tidak ada, Kinan sendirian, bingung, lewat jalan mana, banyak belokan," tangisannya makin menjadi.
Ibu memeluk Kinanti
Ibu : "Terus gimana Kinan bisa sampai rumah?"
Kinanti : "Hati Kinan bilang, harus belok kanan."
Ibu : "Ooo... jadi Kinan ikuti kata hati ya?"
Kinanti : "Iya, terus pas sampai rumah, mereka malah tertawa. Kinan jadi sakit..., Bu. Sakit... hati Kinan."
Ibu terharu melihat Kinanti menangis tersedu-sedu, tapi juga lucu, mendengar putri kecilnya curhat layaknya orang dewasa, sambil tersenyum ibu mengusap air mata Kinanti dengan jari tangan, mengelus-elus kepalanya.
Ibu : "Iya... mungkin mereka mau main-main, bercanda sama Kinan."
Kinanti : "Tapi hati kinan jadi tidak enak!" Memotong pembicaraan.
Ibu : "Nanti Ibu bilang sama mereka, jangan suka main seperti itu, bikin Kinan bingung dan sakit hati. Sekarang Kinan minum dulu yu! Cuci muka biar segar...." Ibu menggendong Kinanti menuju kamar mandi, mencuci mukanya, menyeka dengan handuk. Menuju dapur, mengambil air minum, memberikannya pada Kinanti. Setelah Kinanti reda tangisnya, ibu menghampiri kakak dan saudara-saudaranya yang tadi bersama-sama pergi ke warung. Menceritakan apa yang dirasakan Kinanti, menasehati agar tidak terulang lagi. Mereka pun minta maaf, sebab tadinya hanya bermaksud main-main saja, agar seru. Setelah saling bersalaman Kinanti kembali bermain bersama.
***
Kata Hati
Saat tersakiti
Saat terintimidasi
Seolah tidak ada yang dapat dipercayai
Coba, dengarkanlah kata hati
Kata hati yang murni
Datang dari Sang Pemilik hati
Akan menerangi
Jalan gelap penuh duri
Melangkah
Menuju kebaikan
Mengarah pada kebenaran
Hingga titik pencapaian
Dengarkan
Renungkan
Sikapi
Lalui
Dia akan selalu menemani.
Julianti, Cianjur, 08072016
Jumat, 05 Agustus 2016
CELOTEH ANAK - Kambing Hitam
CELOTEH ANAK
Kambing Hitam
Siang menjelang sore, hujan lebat, geluduk bergemuruh disertai kilat, angin bertiup kencang.
Ibu membaca buku di saung halaman belakang rumah, sambil menikmati alunan nada alam yang dicipta oleh hujan.
Samar terdengar suara teriakan.
"Ibu...!"
Ibu menoleh ke arah suara, memfokuskan pendengaran.
"Ibu...!"
Ternyata suara itu datang dari kamar Kinanti. Ibu segera bangkit, jalan bergegas menghampiri Kinanti yang sedang tidur siang. Membuka pintu kamar, terlihat Kinanti duduk di sudut kasur.
"Bocor, Bu...!" Kinanti menunjuk ke arah kasur yang basah.
"Hadduuuhhh... baru dibetulin gentengnya, kok bocor lagi!" Ibu berlari ke dapur mengambil baskom dan lap. Kembali ke kamar memasang baskom dan lap di atas kasur. Ibu mengendus, tercium aroma tidak sedap. Melihat atap kamar, kering, tidak tampak tetesan air. Melihat ke arah Kinanti yang dari tadi duduk memperhatikannya.
"Hhmmm... coba sini, Kinan." Pinta ibu.
Kinanti bergeser mendekati ibu.
Ibu meraba celana dan baju Kinanti, menciumnya.
"Kinan ngompol, ya?" tanya ibu sambil tertawa kecil.
"Ga tahu...." Kinanti dengan wajah polosnya.
"Ohh... iya, tidak apa-apa, ayo buka bajunya, biar mandi sekalian." Ibu membuka baju Kinanti, menggendongnya ke kamar mandi sambil menahan tawa, sebab khawatir Kinanti malu jika ditertawakan.
***
Cerita ini memberi gambaran, bahwa banyak orang yang sering mencari Kambing Hitam, atau melimpahkan kesalahan yang diperbuatnya pada pihak lain, secara sadar atau pun tidak. Apalagi pihak tersebut sudah memiliki banyak catatan kesalahan, maka tuduhan langsung diberikan.
Hindari prasangka, analisa data dengan saksama, maka akan tampak yang sebenarnya.
Julianti, Ciputat, 03072016
Rabu, 03 Agustus 2016
CELOTEH ANAK - Strategi
CELOTEH ANAK
Strategi
Ibu sedang sibuk memasak di dapur.
Tiba-tiba Kinanti datang menghampiri.
Kinanti : "Bu, main yu!"
Ibu : "Ibu masak dulu ya."
Kinanti : "Aahh... Ibuu... ayo...!" Merengek.
Ibu : "Ibu lagi masak, main sendiri dulu, ya....!"
Kinanti cemberut, lalu duduk di kursi makan.
Kinanti : "Bu... Kinan mau kue...." Teriak.
Ibu : "Itu ada di meja."
Kinanti : "Bukan yang begitu."
Ibu : "Terus mau kue apa?"
Kinanti : "Itu lho... yang dari tepung, pake gula, enak pokoknya."
Ibu : "Hhmm..... kue apa namanya? udah... makan yang ada saja...!"
Kinanti : "Ibu punya tepung kan?"
Ibu : "Punya."
Kinan : "Punya gula?"
Ibu : "Ada."
Kinanti : "Dimana?"
Ibu : "Ada di dalam box." Masih sibuk di dapur.
Kinanti menuju lemari di ruang makan, membuka box yang ada di dalamnya, mengambil tepung terigu dan gula pasir, lalu mengambil mangkuk dan sendok. Membuka tepung yang masih dalam pelastik dengan gunting, menuangkannya ke mangkuk dicampur gula.
Kinanti : "Wah, ini lebih enak kalau pakai telur." Menuju kulkas, mengambil telur ayam, ia pecahkan, isinya dimasukkan ke mangkuk, kulitnya disisihkan, lalu diaduk bersama tepung dan gula, diberi air. Setelah tercampur rata, ia menghampiri ibu.
Kinanti : "Bu, ini tolong masakkin, dong...." Menyodorkan mangkuk berisi adonan.
.
Ibu : "Ya ampun... Kinan mainin tepung, ya?" Terkejut menatap Kinanti.
Kinanti : "Bukan mainin, Bu. Tapi membuat kue." Dengan percaya diri.
Ibu : "Waduh...! Tepungnya sampai berantakan di lantai."
Kinanti : "Ga apa lah, Bu. Kan kuenya enak. Ayo dong masakkin... please....!" Dengan wajah memelas.
Ibu : "Plas plis-plas plis, nanti dimakan ga?"
Kinanti : "Dimakan, lah."
Ibu : "Sebentar lagi ya, Ibu selesaikan dulu ini."
Ibu membereskan alat-alat masak: wajan dan panci. Lalu mengambil adonan buatan Kinanti, memasaknya pakai cetakkan kue bulat. Setelah matang memberikannya pada Kinanti.
Kinanti : "Asyiiik... sudah matang, makasih, Ibu...! Ini makannya harus pakai susu." Sambil senyum-senyum mengambil susu kental manis dituangkan di atas kue. Makan kue dengan lahap.
Ibu membersihkan lantai sambil tersenyum melihat tingkah Kinanti.
***
Anak-anak adalah pejuang yang gigih, sering menggunakan segala cara untuk memenuhi keinginannya. Kali ini, Kinanti memberi inspirasi, bahwa perlu strategi, jika ingin tetap berkreasi dalam kondisi yang tidak kondusif.
Julianti, Ciputat 30062016
Langganan:
Postingan (Atom)