Selasa, 16 Agustus 2016

#MyCupOfStory - KOPI SEJATI

KOPI SEJATI
Karya Cipta: Julianti


   Satrio menyusuri jalan setapak tepi danau, menuju padepokan Mbah Sukmo, dia hendak sowan, sudah lama tidak bertemu Sang Guru.
   Kanan kiri jalan ditumbuhi rumput jampang dan ilalang.
   Hujan siang tadi cukup deras, hingga meninggalkan bekas,  genangan air, membuat becek dan licin.
   Sepatu hitam mengkilat hasil disemir tadi pagi, dijinjing, sebab lebih nyaman berjalan dengan kaki telanjang.
   Kurang lebih lima ratus meter jarak dari jalan raya ke padepokan Mbah Sukmo.
   Sesampai di pintu gerbang, Satrio menuju pinggir danau  mencuci kaki. Setelah bersih, kembali mengenakan sepatu, berjalan menuju Pendopo Utama yang terletak di tengah-tengah antara saung-saung kecil yang terbuat dari bambu, beratap daun kirei.
   Satrio mengucap salam. "Assalamualaikum...." Melihat sekeliling mencari orang di sekitar pendopo, sepi seperti tidak berpenghuni. "Assalamualaikum... permisi...!" Belum juga ada jawaban. Satrio duduk di bangku bawah pohon kersen, bersandar dengan kepala menatap ke atas, terlihat banyak sekali buah kersen yang matang, berwarna merah,  tampak menggoda untuk dipetik dan dinikmati. Satrio naik ke atas bangku bambu tempat yang tadi dia duduki, memetik buah kersen dengan asyik sekali.
   Sesaat sebelum buah kersen itu masuk mulutnya, tiba-tiba...,
"Eeehhh... Ada tamu." Suara itu mengagetkan Satrio, buah kersen yang hendak dia masukkan ke mulut, terjatuh.
"Eh, iya. Mbah... kaget saya." Satrio mengelus-elus dadanya.
   Rupanya pemilik suara tadi adalah Mbah Sukmo.
"Kamu sih, terlalu asyik metik kersen." Sahut Mbah Sukmo.
"Hehehe... jadi malu saya."
"Wis, ojo malu-malu. Ayo, mau masuk atau makan kersen dulu?" Mbah Sukmo dengan nada santai.
"Iya, Mbah. Saya masuk saja." Satrio turun dari bangku, lalu berjalan mengikuti Mbah Sukmo, menuju saung di sudut barat pinggir danau, di antara pohon paku-pakuan yang tumbuh subur .
   Matahari senja mulai tampak, seiring angin meniup awan-awan kelabu yang tadi menutupi langit.
   Satrio berdiri menatap jauh ke sudut danau, menikmati pantulan cahaya matahari pada air danau yang jernih, tampak seperti cermin, cermin danau yang menunjukkan keindahan, kemolekan cakrawala senja yang sungguh luar biasa.
"Potret saja, jika kau mau, agar jadi sesuatu yang dapat dinikmati suatu saat nanti." Mbah Sukmo sambil mengeluarkan HP dan membidikkan kameranya.
"Iya, Mbah." Satrio mengikuti.
"Matahari senja itu begitu elok dan lembut, maka jangan sampai kau kehilangan momen berharga ini, kita bisa banyak belajar darinya." Mbah Sukmo sambil terus mengambil gambar-gambar cakrawala yang mempesona.
"Iya Mbah, indah banget." Jawab Satrio.
   Sementara Satrio dan Mbah Sukmo asyik memotret, datanglah Amen membawa baki dengan cangkir-cangkir kopi di atasnya.
"Taro di dalam saung saja, Men....! Terimakasih ya...." Mbah Sukmo menoleh ke  arah Amen.
"Iya, Mbah. Sama-sama." Jawab Amen.
"Itu kopi kita sudah datang, ayo ngopi dulu!" Ajak Mbah Sukmo. Berjalan menuju ke dalam saung.
   Satrio mengikuti.
   Mereka duduk berhadapan, di antara cangkir-cangkir kopi yang masih mengepul.
"Oh iya, jadi ingat, saya juga bawa kopi di tas." Satrio membuka tasnya, mengeluarkan bungkusan plastik berisi kopi. "Ini, Mbah... kopi Lampung, hasil  kebun kami, produksi sendiri, Mbah pasti suka, rasanya mantap." Memberikan bungkusan kopi pada Mbah Sukmo.
"Wah... terimakasih banyak, kopi sejati pasti mantap."
"Kopi... sejati?" Satrio menatap Mbah Sukmo mengharap penjelasan.
"Iya, mulai dari benih, ditanam, dirawat, dipanen, diolah, hingga diseruput mulut, jika dilakukan dengan penuh cinta kasih, pasti rasanya nikmat, sebab segala sesuatu di alam ini memiliki jiwa, maka sentuhlah dengan jiwa."
"Ooo... iya, Mbah." Satrio tersenyum, menoleh ke arah kopi yang tersaji di  cangkir. Terdapat empat cangkir. Dia merasa heran, mengapa ada empat cangkir, sedangkan mereka hanya berdua.
   Belum sempat bertanya, Mbah Sukmo sudah memulai pembicaraan.
"Sudah satu minggu ini ada Mbah Bidho dan Mbah Macan rawuh."
"Ada di sini sekarang, Mbah?"
"Iya." Jawab Mbah Sukmo.
   Satrio menoleh ke kanan kirinya, melihat sekeliling, sepi, hanya mereka berdua di situ.
"Di mana Mbah Bidho sama Mbah Macan?"
"Di sini, sekarang bersama kita." Tegas Mbah Sukmo.
   Satrio tersenyum menatap Mbah Sukmo, menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak mengerti.
"Coba kamu pakai kamera HP-mu, potret saya!" Pinta Mbah Sukmo.
   Satrio mengambil HP,  membidikkan kameranya, mengambil posisi clos up, memotret Mbah Sukmo.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Mbah Sukmo.
   Satrio tertegun melihat foto hasil jepretannya, menoleh ke arah Mbah Sukmo,  
"Mbah, boleh saya coba sekali lagi?"
"Ya... silahkan!"
   Satrio membidikkan kameranya kembali, masih terlihat wajah Mbah Sukmo di layar kamera. Lalu dia klik, hasil fotonya sama seperti tadi yang pertama dia potret.
"Apa yang kaulihat?" Tanya Mbah Sukmo.
"Hhmm... ini Mbah." Satrio menggeser duduknya, mendekati Mbah Sukmo, memperlihatkan hasil jepretan kameranya, "Ini seperti sebongkah berlian, kilauan-kilauan cahayanya sangat cantik, seperti diliputi pelangi." Satrio terlihat kagum.
"Ya, itu Mbah Bidho Cakrawala Angkasa. Penguasa Angkasa." Jawab Mbah Sukmo, sambil melepas ikat kepalanya.
"Ooo...," mengamati dengan seksama fotonya. "Terus bisakah saya melihat Mbah Macan?" Tanya Satrio.
"Coba saja." Mbah Sukmo mengurai rambutnya yang panjang, putih, seputih warna kumis dan jenggotnya yang panjang. Mbah Sukmo mengambil rokok kreteknya, menyalakan korek, membakar ujung rokok hingga timbul bara, menyedot, lalu keluar asap dari mulutnya.
   Satrio kembali ambil posisi memotret. Klik. Dia langsung melihat hasil kameranya, mengerutkan dahi, menatap dengan seksama. Kembali mendekati Mbah Sukmo, "Mbah, yang ini cahaya pelanginya membentuk, menyerupai kepala macan, menyeramkan tapi mempesona."
   Mbah Sukmo menghela napas panjang, menatap tajam Satrio, "Itulah Mbah Macan." Mbah Sukmo kembali menyedot rokoknya sambil mengelus jenggot serta mengenakan ikat kepalanya seperti semula.
   Satrio masih menatap kamera. Suasana hening sejenak, hanya terdengar  samar-samar suara kendaraan lalu-lalang dari kejauhan.
"Ayo kopinya diminum dulu!" Mbah Sukmo mengambil cangkir kopinya, menyeruput hingga terdengar bunyi dari mulutnya.
"Iya, Mbah. Terimakasih." Satrio mengikuti, menyeruput kopinya. "Mbah, ini kopi yang dua untuk Mbah Bidho dan Mbah Macan, ya?" Mengarahkan pandangan pada kedua cangkir yang ada di hadapan mereka.
"Bukan, beliau sukanya ikan, aroma sere dan alang." Jawab Mbah Sukmo.
"Terus ini buat siapa?" Satrio heran.
"Mbah-mu!"
"Ooo... buat Mbah?"
"Iya, Mbah-mu." Mbah Sukmo dengan santai.
"Hehehe... saya serius nih, Mbah." Satrio tertawa mendengar ucapan Mbah Sukmo yang seperti meledeknya.
"Lha, aku juga serius!" Mbah Sukmo menatap Satrio.
"Maksudnya?"
"Kamu tidak tahu dari tadi ada Mbah Putri dan Mbah Kakung ikut bersamamu?"
"Masa sih, Mbah?"
"Aku tahu kopi yang kamu bawa itu pasti mantap, sebab Mbah-mu dulu menanam, memelihara dan mengolahnya penuh cinta kasih, nah sekarang beliau wariskan perkebunan itu untuk dikelola keluargamu, bukan?"
"Kok Mbah Sukmo tahu?"
"Lha, Mbahmu yang cerita ke aku, tadi kami berbincang." Mbah Sukmo menyedot rokok, meniupkan asap dari mulutnya. "Aku yakin perkebunan kopi, dan pabrik pengolahan kopi milik keluargamu akan sukses, asalkan kalian tidak serakah, baik terhadap sesama manusia atau pun alam semesta, dan harus selalu kalian pegang nilai-nilai yang sudah diwariskan oleh Mbah-mu juga para leluhurmu." Mbah Sukmo  berpesan pada Satrio.
"Iya, Mbah." Satrio menunduk mendengarkan pesan Mbah Sukmo.
   Suasana sekitar danau berangsur gelap, senja berganti malam, cuaca terasa dingin, awan di langit sudah menebal lagi, tidak lama hujan pun turun.
"Waduh, hujan!" Keluh Satrio.
"Hujan itu kan berkah, mengapa kau keluhkan?" Mbah sukmo sambil menatap air hujan jatuh di air danau.
"Iya, Mbah. Tapi masalahnya saya harus segera pulang, tadinya mau pamitan sebab ada janji sama klien setelah ini."
"Ooo... kalau begitu coba kamu bikinin kopi dulu satu gelas, pakai kopimu. Tuh, sana ke dapur, ada Amen, minta bantuan dia." Pinta Mbah Sukmo.
"Baik Mbah." Satrio berjalan menuju dapur yang terletak di saung sudut utara.
Beberapa menit kemudian dia kembali membawa segelas kopi. "Ini kopinya, Mbah."
"Persembahkan aromanya untuk hujan, minta hujannya pindah dulu ke kota lain, sebab kamu mau lewat." Tutur Mbah Sukmo.
   Satrio mempraktikkan petunjuk Mbah Sukmo. Dia berjalan menuju pinggir saung sambil memegang segelas kopi, meletakkannya di bangku teras dengan hati-hati, sambil berbisik, "Puniko unjuk dahar sekedaripun. Monggo dipun tampi pisungsun saking Satrio."
   Satrio menengadah ke langit, kedua tangannya mengembang merentang seiring pandangan mata. Rambutnya yang ikal agak gondrong  terkena tampias air hujan, hingga terlihat titik-titik bening seperti embun.
   Tiga puluh menit kemudian hujan pun redalah, bahkan berhenti.
   Satrio menangkupkan kedua tangan di wajahnya, lalu menatap cakrawala, "Wah... luar biasa! Kopi ini sungguh dahsyat, ajaib, bisa menghentikan hujan!" Satrio tersenyum lebar. Pemuda tampan berkulit sawo matang itu pun merunduk hormat pada Mbah Sukmo.
"Karena kau memberikannya dengan tulus. Dan tepat sekali, kopimu memang dahyat dan ajaib, karena dari awal sampai akhir, diproses dengan penuh cinta kasih." Mbah Sukmo tersenyum.
"Keren, Mbah! Saya sudah punya merek untuk kopi saya, yaitu..., KOPI SEJATI." Satrio menggerakkan alisnya, menatap Mbah Sukmo, tanda meminta persetujuan.
"Iya, bagus, KOPI SEJATI: ditanam, dirawat, diproses, dan disajikan sepenuh hati dengan cinta kasih." Mbah Sukmo tersenyum lebar.
   Tidak lama Satrio pun pamitan. Melangkah meninggalkan padepokan dengan perasaan senang.

***

Julianti, Ciputat 17 Agustus 2016
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar