KOPI SEJATI
Karya Cipta:
Julianti
Satrio menyusuri jalan
setapak tepi danau, menuju padepokan Mbah Sukmo, dia hendak sowan, sudah lama
tidak bertemu Sang Guru.
Kanan kiri
jalan ditumbuhi rumput jampang dan ilalang.
Hujan siang tadi cukup
deras, hingga meninggalkan bekas,
genangan air, membuat becek dan licin.
Sepatu hitam mengkilat
hasil disemir tadi pagi, dijinjing, sebab lebih nyaman berjalan dengan kaki
telanjang.
Kurang lebih lima
ratus meter jarak dari jalan raya ke padepokan Mbah Sukmo.
Sesampai di pintu gerbang, Satrio menuju pinggir
danau mencuci kaki. Setelah bersih,
kembali mengenakan sepatu, berjalan menuju Pendopo Utama yang terletak di
tengah-tengah antara saung-saung kecil yang terbuat dari bambu, beratap daun
kirei.
Satrio mengucap salam.
"Assalamualaikum...." Melihat sekeliling mencari orang di sekitar
pendopo, sepi seperti tidak berpenghuni. "Assalamualaikum...
permisi...!" Belum juga ada jawaban. Satrio duduk di bangku bawah pohon
kersen, bersandar dengan kepala menatap ke atas, terlihat banyak sekali buah
kersen yang matang, berwarna merah,
tampak menggoda untuk dipetik dan dinikmati. Satrio naik ke atas bangku
bambu tempat yang tadi dia duduki, memetik buah kersen dengan asyik sekali.
Sesaat sebelum buah
kersen itu masuk mulutnya, tiba-tiba...,
"Eeehhh... Ada tamu." Suara itu
mengagetkan Satrio, buah kersen yang hendak dia masukkan ke mulut, terjatuh.
"Eh, iya. Mbah... kaget saya." Satrio
mengelus-elus dadanya.
Rupanya pemilik suara
tadi adalah Mbah Sukmo.
"Kamu sih, terlalu asyik metik kersen."
Sahut Mbah Sukmo.
"Hehehe... jadi malu saya."
"Wis, ojo
malu-malu. Ayo, mau masuk atau makan kersen dulu?" Mbah Sukmo dengan nada
santai.
"Iya, Mbah. Saya masuk saja." Satrio turun
dari bangku, lalu berjalan mengikuti Mbah Sukmo, menuju saung di sudut barat
pinggir danau, di antara pohon paku-pakuan yang tumbuh subur .
Matahari
senja mulai tampak, seiring angin meniup awan-awan kelabu yang tadi menutupi
langit.
Satrio berdiri menatap
jauh ke sudut danau, menikmati pantulan cahaya matahari pada air danau yang
jernih, tampak seperti cermin, cermin danau yang menunjukkan keindahan,
kemolekan cakrawala senja yang sungguh luar biasa.
"Potret saja, jika kau mau, agar jadi sesuatu
yang dapat dinikmati suatu saat nanti." Mbah Sukmo sambil mengeluarkan HP
dan membidikkan kameranya.
"Iya, Mbah." Satrio mengikuti.
"Matahari senja itu begitu elok dan lembut,
maka jangan sampai kau kehilangan momen berharga ini, kita bisa banyak belajar
darinya." Mbah Sukmo sambil terus mengambil gambar-gambar cakrawala yang
mempesona.
"Iya Mbah, indah banget." Jawab Satrio.
Sementara
Satrio dan Mbah Sukmo asyik memotret, datanglah Amen membawa baki dengan
cangkir-cangkir kopi di atasnya.
"Taro di dalam saung saja, Men....! Terimakasih
ya...." Mbah Sukmo menoleh ke arah
Amen.
"Iya, Mbah. Sama-sama." Jawab Amen.
"Itu kopi kita sudah datang, ayo ngopi
dulu!" Ajak Mbah Sukmo. Berjalan menuju ke dalam saung.
Satrio
mengikuti.
Mereka
duduk berhadapan, di antara cangkir-cangkir kopi yang masih mengepul.
"Oh iya, jadi ingat, saya juga bawa kopi di
tas." Satrio membuka tasnya, mengeluarkan bungkusan plastik berisi kopi.
"Ini, Mbah... kopi Lampung, hasil
kebun kami, produksi sendiri, Mbah pasti suka, rasanya mantap."
Memberikan bungkusan kopi pada Mbah Sukmo.
"Wah... terimakasih banyak, kopi sejati pasti
mantap."
"Kopi... sejati?" Satrio menatap Mbah
Sukmo mengharap penjelasan.
"Iya, mulai dari benih, ditanam, dirawat,
dipanen, diolah, hingga diseruput mulut, jika dilakukan dengan penuh cinta
kasih, pasti rasanya nikmat, sebab segala sesuatu di alam ini memiliki jiwa,
maka sentuhlah dengan jiwa."
"Ooo... iya, Mbah." Satrio tersenyum,
menoleh ke arah kopi yang tersaji di
cangkir. Terdapat empat cangkir. Dia merasa heran, mengapa ada empat
cangkir, sedangkan mereka hanya berdua.
Belum
sempat bertanya, Mbah Sukmo sudah memulai pembicaraan.
"Sudah satu minggu ini ada Mbah Bidho dan Mbah
Macan rawuh."
"Ada di sini sekarang, Mbah?"
"Iya." Jawab Mbah Sukmo.
Satrio
menoleh ke kanan kirinya, melihat sekeliling, sepi, hanya mereka berdua di
situ.
"Di mana Mbah Bidho sama Mbah Macan?"
"Di sini, sekarang bersama kita." Tegas
Mbah Sukmo.
Satrio
tersenyum menatap Mbah Sukmo, menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak mengerti.
"Coba kamu pakai kamera HP-mu, potret
saya!" Pinta Mbah Sukmo.
Satrio
mengambil HP, membidikkan kameranya,
mengambil posisi clos up, memotret
Mbah Sukmo.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Mbah Sukmo.
Satrio
tertegun melihat foto hasil jepretannya, menoleh ke arah Mbah Sukmo,
"Mbah, boleh saya coba sekali lagi?"
"Ya... silahkan!"
Satrio
membidikkan kameranya kembali, masih terlihat wajah Mbah Sukmo di layar kamera.
Lalu dia klik, hasil fotonya sama
seperti tadi yang pertama dia potret.
"Apa yang kaulihat?" Tanya Mbah Sukmo.
"Hhmm... ini Mbah." Satrio menggeser
duduknya, mendekati Mbah Sukmo, memperlihatkan hasil jepretan kameranya,
"Ini seperti sebongkah berlian, kilauan-kilauan cahayanya sangat cantik,
seperti diliputi pelangi." Satrio terlihat kagum.
"Ya, itu Mbah Bidho Cakrawala Angkasa. Penguasa
Angkasa." Jawab Mbah Sukmo, sambil melepas ikat kepalanya.
"Ooo...," mengamati dengan seksama
fotonya. "Terus bisakah saya melihat Mbah Macan?" Tanya Satrio.
"Coba saja." Mbah Sukmo mengurai rambutnya
yang panjang, putih, seputih warna kumis dan jenggotnya yang panjang. Mbah
Sukmo mengambil rokok kreteknya, menyalakan korek, membakar ujung rokok hingga
timbul bara, menyedot, lalu keluar asap dari mulutnya.
Satrio
kembali ambil posisi memotret. Klik.
Dia langsung melihat hasil kameranya, mengerutkan dahi, menatap dengan seksama.
Kembali mendekati Mbah Sukmo, "Mbah, yang ini cahaya pelanginya membentuk,
menyerupai kepala macan, menyeramkan tapi mempesona."
Mbah Sukmo
menghela napas panjang, menatap tajam Satrio, "Itulah Mbah Macan."
Mbah Sukmo kembali menyedot rokoknya sambil mengelus jenggot serta mengenakan
ikat kepalanya seperti semula.
Satrio
masih menatap kamera. Suasana hening sejenak, hanya terdengar samar-samar suara kendaraan lalu-lalang dari
kejauhan.
"Ayo kopinya diminum dulu!" Mbah Sukmo
mengambil cangkir kopinya, menyeruput hingga terdengar bunyi dari mulutnya.
"Iya, Mbah. Terimakasih." Satrio
mengikuti, menyeruput kopinya. "Mbah, ini kopi yang dua untuk Mbah Bidho
dan Mbah Macan, ya?" Mengarahkan pandangan pada kedua cangkir yang ada di
hadapan mereka.
"Bukan, beliau sukanya ikan, aroma sere dan
alang." Jawab Mbah Sukmo.
"Terus ini buat siapa?" Satrio heran.
"Mbah-mu!"
"Ooo... buat Mbah?"
"Iya, Mbah-mu." Mbah Sukmo dengan santai.
"Hehehe... saya serius nih, Mbah." Satrio
tertawa mendengar ucapan Mbah Sukmo yang seperti meledeknya.
"Lha,
aku juga serius!" Mbah Sukmo menatap Satrio.
"Maksudnya?"
"Kamu tidak tahu dari tadi ada Mbah Putri dan
Mbah Kakung ikut bersamamu?"
"Masa sih, Mbah?"
"Aku tahu kopi yang kamu bawa itu pasti mantap,
sebab Mbah-mu dulu menanam, memelihara dan mengolahnya penuh cinta kasih, nah
sekarang beliau wariskan perkebunan itu untuk dikelola keluargamu, bukan?"
"Kok Mbah Sukmo tahu?"
"Lha,
Mbahmu yang cerita ke aku, tadi kami berbincang." Mbah Sukmo menyedot
rokok, meniupkan asap dari mulutnya. "Aku yakin perkebunan kopi, dan
pabrik pengolahan kopi milik keluargamu akan sukses, asalkan kalian tidak
serakah, baik terhadap sesama manusia atau pun alam semesta, dan harus selalu
kalian pegang nilai-nilai yang sudah diwariskan oleh Mbah-mu juga para
leluhurmu." Mbah Sukmo berpesan
pada Satrio.
"Iya, Mbah." Satrio menunduk mendengarkan
pesan Mbah Sukmo.
Suasana
sekitar danau berangsur gelap, senja berganti malam, cuaca terasa dingin, awan
di langit sudah menebal lagi, tidak lama hujan pun turun.
"Waduh, hujan!" Keluh Satrio.
"Hujan itu kan berkah, mengapa kau
keluhkan?" Mbah sukmo sambil menatap air hujan jatuh di air danau.
"Iya, Mbah. Tapi masalahnya saya harus segera
pulang, tadinya mau pamitan sebab ada janji sama klien setelah ini."
"Ooo... kalau begitu coba kamu bikinin kopi
dulu satu gelas, pakai kopimu. Tuh, sana ke dapur, ada Amen, minta bantuan
dia." Pinta Mbah Sukmo.
"Baik Mbah." Satrio berjalan menuju dapur
yang terletak di saung sudut utara.
Beberapa menit kemudian dia kembali membawa segelas
kopi. "Ini kopinya, Mbah."
"Persembahkan aromanya untuk hujan, minta
hujannya pindah dulu ke kota lain, sebab kamu mau lewat." Tutur Mbah
Sukmo.
Satrio
mempraktikkan petunjuk Mbah Sukmo. Dia berjalan menuju pinggir saung sambil
memegang segelas kopi, meletakkannya di bangku teras dengan hati-hati, sambil
berbisik, "Puniko unjuk dahar
sekedaripun. Monggo dipun tampi pisungsun saking Satrio."
Satrio
menengadah ke langit, kedua tangannya mengembang merentang seiring pandangan
mata. Rambutnya yang ikal agak gondrong
terkena tampias air hujan, hingga terlihat titik-titik bening seperti
embun.
Tiga puluh
menit kemudian hujan pun redalah, bahkan berhenti.
Satrio
menangkupkan kedua tangan di wajahnya, lalu menatap cakrawala, "Wah...
luar biasa! Kopi ini sungguh dahsyat, ajaib, bisa menghentikan hujan!"
Satrio tersenyum lebar. Pemuda tampan berkulit sawo matang itu pun merunduk
hormat pada Mbah Sukmo.
"Karena kau memberikannya dengan tulus. Dan tepat
sekali, kopimu memang dahyat dan ajaib, karena dari awal sampai akhir, diproses dengan
penuh cinta kasih."
Mbah Sukmo tersenyum.
"Keren, Mbah! Saya sudah punya merek untuk kopi
saya, yaitu..., KOPI SEJATI." Satrio menggerakkan alisnya, menatap Mbah
Sukmo, tanda meminta persetujuan.
"Iya, bagus, KOPI SEJATI: ditanam, dirawat,
diproses, dan disajikan sepenuh hati dengan cinta kasih." Mbah Sukmo
tersenyum lebar.
Tidak lama Satrio pun
pamitan. Melangkah meninggalkan padepokan dengan perasaan senang.
***
Julianti, Ciputat 17 Agustus 2016
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com*