Kamis, 29 Desember 2016

CELOTEH ANAK - Mandiri

CELOTEH ANAK

Mandiri

Pukul sebelas lewat empat puluh lima menit, terdengar suara mengucap salam dari pintu depan, "Assalamualaikum...." Rupanya Nabasa baru pulang sekolah.

Ibu menjawab salam dan menghampiri Nabasa. "Waalaikum salam..., kok sudah pulang, sama siapa?"

"Tadi pulangnya agak cepat, nunggu dijemput Ibu kelamaan, jadi coba pulang sendiri naik angkot."

"Berani?"

"Di angkotnya sih sama Sena. Pas jalan ke kompleksnya, sendiri."

"Ooo...." Ibu kembali berjalan ke belakang rumah.

Nabasa membuka sepatu dan kaus kaki, lalu menghampiri ibu. "Bu, Teteh senang banget punya buku LKS." Mengambil beberapa buku dari dalam tasnya, menunjukkan pada ibu.

"Lho, kok sudah dapat, Ibu kan belum kasih uangnya?"

"Sudah dibayar, Bu. Pakai uang Teteh, hasil jualan Slime." Tersenyum sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya yang tebal.

"Ooo... nanti Ibu ganti."

"Tidak usah, Bu. Teteh seneng banget bisa beli buku sendiri. Kalau dulu punya buku itu rasanya biasa saja, sekarang beda, gimana... gitu!"

Ibu tersenyum, "karena belinya pake uang sendiri kali... perasaan bangga, senang pada diri sendiri, karena sudah dapat menghasilkan sesuatu atas usaha yang telah dilakukan. Itu namanya kepuasan diri."

"Iya, Betul. Teteh merasa puas dan bangga." Tersenyum lebar.

"Berarti sekarang tambah rajin dong belajarnya." Mata ibu menatap menggoda Nabasa sambil tersenyum.

"Hehehe... sepertinya sih, begitu." Nabasa membereskan buku-buku memasukkannya kembali ke dalam tas. "Bu, Teteh merasa, semakin besar itu semakin serba sendiri. Nyuci sendiri, nyetrika sendiri, apa-apa sendiri."

"Iya memang begitu, bayi saja tidak selamanya nyusu terus sama ibunya. Apa lagi Teteh sudah kelas enam SD."

"Yeee... emangnya Teteh masih nyusu ke Ibu!"

"Itu kan, istilahnya, bukan arti yang sebenarnya."

"Hahaha...." Keduanya tertawa geli.

"Bu, Teteh mau kasih nama dulu bukunya." Berjalan menuju kamar. Satu persatu buku itu dia tulisi namanya.

Ibu tersenyum senang melihat anak sulungnya sudah bisa mandiri.
***

Banyak hal yang dapat membuat rasa bangga, percaya diri, dan dihargai. Diantaranya adalah dapat hidup MANDIRI.
Julianti, Ciputat, 16092016

Sabtu, 03 Desember 2016

CELOTEH ANAK - Teman

CELOTEH ANAK
Teman

Hari Minggu, adalah hari kemerdekaan bagi anak-anak, sebab bebas dari rutinitas sekolah.
Setelah sholat subuh, Nabasa, Alecia, Kinanti, membereskan tempat tidur, lalu pamitan untuk lari pagi mengelilingi kompleks rumah bersama teman-temannya.

Begitu pun ibu, merasakan suasana santai di hari Minggu, selesai beres-beres rumah, membuka laptop, memutar vidio senam aerobik, walau senam sendiri tapi terlihat menikmati.
Jam delapan lewat ibu selesai senam.
Anak-anak belum pulang ke rumah untuk sarapan.
Ibu mulai khawatir, bergegas ke luar menuju rumah Mia sahabat Nabasa, ternyata tidak ada. Mencari ke rumah temannya yang lain, tidak ketemu juga, bahkan teman-temannya pun belum pulang.

"Hhmmm... ke mana anak-anak, ya." Ibu bergumam sambil berjalan melewati mesjid.
Sayup  terdengar suara ramai di halaman mesjid, ternyata anak-anak sedang bermain loncat tinggi.
Ibu menghampiri, "Teteh , Cia, Kinan... ayo pulang dulu, kan belum makan."

"Tar, Bu!" Jawab Nabasa.

"Ini sudah mau jam sembilan, nanti mainnya dilanjutin setelah makan!"

"Iya, iya, Bu...." Berhenti sejenak menoleh pada teman-temannya, "Hey... aku mau makan dulu ya... nanti ke sini lagi."

Teman-teman Nabasa terlihat kecewa, tapi mereka terus melanjutkan permainan.
Nabasa menghampiri ibu.
Alecia dan Kinanti mengikuti.
Mereka berjalan bersama menuju rumah.

"Gimana sih, main kok sampai lupa makan!" Ibu mengomel.

"Teman-teman yang lain juga belum pada makan." Nabasa menyahut.

"Kenapa ngikutin orang lain?" Ibu menoleh ke Nabasa.

"Bukan orang lain, Bu. Tapi TEMAN." Kinanti menceletuk, dengan muka tanpa ekspresi.

"Iya..., teman itu kan orang lain."

"Bukan! Kalau orang lain itu... tidak kenal. Ini semua Kinan kenal." Terlihat wajah polos Kinanti, menggemaskan.

"Iya deh, teman." Ibu menarik napas panjang, senyum tertahan.

"Eh, gimana kalau kita ajak mereka makan bareng, biar seru." Usul Nabasa.

"Iya bener!" Alecia mengacungkan telunjuknya, tanda setuju.

"Ya, Bu, ya...?" Nabasa memegang tangan ibu.

Sejenak Ibu menatap Nabasa, melihat ke Alecia, Kinanti, seraya berpikir. "Hhmmm... Iya, boleh."

"Horeeey...!" Nabasa bersorak senang, segera balik badan, berlari menuju teman-temannya. "Heyy... kalian udah pada makan belum?"

"Belum." Menjawab serentak.

"Kita makan bareng-bareng yuuu...!"

Mereka saling menoleh, menatap, sebagai isyarat minta persetujuan. "Ayo!"

"Iya, ayo! Makannya di Gazebo aja, ya!" Usul Mia.

"Kita ambil makanannya dulu, nanti kumpul di sana." Sahut yang lain.

"Ok...." Anak-anak berlarian menuju rumah masing-masing.

Begitu pun Nabasa, berlari menuju rumahnya. Terlihat ibu, Alecia dan Kinanti, baru sampai teras. "Bu... Bu... biar Teteh aja yang ambil makanannya, kita mau makan bareng di Gazebo."

Ibu mengangguk. "Iya."

"Kinan ikut...!"

"Cia juga...!"

Mereka mengemas makanan ke dalam kotak plastik, lalu pergi menuju Gazebo yang terletak di sudut pertigaan jalan dekat rumah.
Tidak lama kemudian teman-temannya berdatangan.
Mereka pun makan dengan lahap dan seru, saling mencicipi makanan yang dibawa dari rumah masing-masing.
***

Sikap anak-anak itu mengingatkan kita tentang solidaritas.
Rasa kebersamaan yang kini mulai memudar, terutama di daerah perkotaan.
Budaya "Silih asah, silih asih, silih asuh."  Semoga dapat terjalin kembali, mengakar, tertanam dari sejak dini.
Julianti, Ciputat, 14082016

Jumat, 25 November 2016

CELOTEH ANAK - Rahasia


CELOTEH ANAK
Rahasia

Hari begitu panas, baju Kinanti basah berkeringat, ia merasa tidak nyaman dan kehausan. Dari taman ia berlari pulang ke rumah.
Sampai di rumah langsung mendekati kulkas, membuka pintunya, terlihat di freezer ada es mambo kacang hijau yang semalam ia buat bersama Nabasa dan Alecia.
Ia ingin memakannya, akan tetapi mereka sudah membuat kesepakatan akan makan es-es itu bersama.
Kinanti tampak bingung, ingin mengambil es itu. Ambil tidak. Ambil tidak. Tidak ambil.
Tangan mungil Kinanti meraih sebungkus es mambo.
Kinanti tengok kiri kanan lalu berlari ke sudut ruang TV. Dengan cepat ia buka es mambo lalu menikmatinya dengan lahap. Sesekali matanya terbeliak menahan rasa dingin di bibir dan lidahnya.

Ibu yang sedang berada di dapur, melihat tingkah Kinanti, lalu menghampirinya. "Kinan... kenapa makan es sambil ngumpet?"

Kinanti melotot dengan bibir manyun, telunjuk tangan kirinya ditempelkan di bibir, "Sssttt... Ibu jangan bilang-bilang Teteh sama Cia, ya! Ini RAHASIA." Makin jenaka wajah Kinanti, seraya mengusap mulutnya yang belepotan es mambo

Ibu tersenyum, "Rahasia apa?"

"Kinan makan es duluan." Dengan nada berbisik.

Ibu  menahan geli, "Ooo... tapi kan Teteh sama Cia belum pulang sekolah, tidak ada di rumah, kenapa harus ngumpet?"

"Iya... tidak apa-apa, Ibu jangan berisik!" Matanya mendelik.

Ibu tersenyum melihat tingkah Kinanti, lalu kembali ke dapur.

Sehabis makan es, Kinanti menghampiri ibu yang baru selesai masak.
"Bu... Kinan mau ganti baju, ini sudah basah, lengket." Menarik-narik baju yang dipakainya.

"Iya, sini sekalian diseka." Ibu membantu membuka baju Kinanti, mengajaknya ke kamar mandi, menyeka bagian tubuh yang lengket dengan waslap.

"Bajunya Kinan yang pilih ya, Bu."

Ibu mengangguk, "Iya boleh."

Kinanti menuju almari, mengambil baju bergambar Little Pony kesukaannya. Selesai berpakaian ia pamit pada ibu untuk bermain lagi. Lalu berlari menuju taman.

Ibu bersiap-siap menjemput Nabasa dan Alecia. Memakai jaket, helm, masker. Berangkat  mengendarai motornya.

Setengah jam kemudian, ibu sudah kembali ke rumah bersama Nabasa dan Alecia.

Kinanti dari arah taman bermain yang letaknya hanya dua puluh meter dari rumah, melihat kedatangan ibu serta kakaknya. Ia segera berlari menyambut kedatangan mereka.

Kinanti girang sekali, "Yeee... Teteh sama Cia sudah pulang...!" Bersorak dengan napas terengah.

Nabasa dan Alecia membuka sepatu dan kaos kaki, menoleh ke arah Kinanti sambil tersenyum. Lalu mereka masuk rumah, menuju kamar hendak berganti pakaian.

Kinanti mengikuti kakaknya dari belakang.
Kinanti mendekati Alecia dan Nabasa, "Teteh, Teteh, tadi enak banget lho... Kinan makan es mambo." Dengan wajah ceria. Ia tidak tahan ingin menceritakan nikmatnya makan es mambo.

Ibu memperhatikan tingkah Kinanti, tertawa kecil, lalu berjalan menuju belakang rumah.



Nabasa berhenti sejenak, menoleh ke arah Kinanti.
"Es mambo apaan?"

"Itu lhoo... yang kita bikin semalam." Jawab Kinanti sambil senyum-senyum.

Nabasa melotot, "Kinan...! Kan Teteh sudah bilang, makannya bareng-bareng, setelah semua pulang sekolah." Dengan nada sedikit kencang.

Alecia  menoleh ke arah Kinanti, turut menyaut, "Kinan tidak tepati janji!"

Seketika wajah Kinanti mengkerut. "Tapi Kinan pengen...."

Alecia cemberut, "Kinan tidak bisa dipercaya! Jangan diajakin lagi!"

Kinanti semakin merengut, matanya mulai berkaca-kaca, tak lama air matanya berjatuhan, terisak.


"Ya sudah, nanti kalau Teteh sama Cia makan es, Kinan jangan ya! Yang berikutnya baru boleh, kita bareng-bareng."

 "Iyaa...." Dengan suara pelan.

Selesai berganti pakaian, Nabasa dan Alecia makan es sambil menonton TV, sedangkan Kinanti duduk diam memperhatikan kedua kakaknya makan es mambo.

***

Itulah anak-anak, tidak bisa berbohong atas apa yang dilakukan, hingga yang dirahasiakan pun malah diungkapkannya.
Atau anak-anak belum tahu, apa yang disebut rahasia dalam kehidupan.
Barangkali rahasia itu hanya milik orang dewasa.
Julianti, Ciputat 02082016
***

Sabtu, 15 Oktober 2016

CELOTEH ANAK - Kewajiban

CELOTEH ANAK
Kewajiban

Baru sebulan Alecia masuk SD, ia sangat senang punya banyak teman, tapi sayang pagi hari ini tidak bisa masuk sekolah karena sakit, harus beristirahat di rumah.
Ia mulai merasa bosan sendirian, sebab ibu sibuk beres-beres rumah.
Ayah sibuk dengan laptopnya.
Alecia berbaring di kursi sambil menonton TV. Saat ada acara kesukaan ibu, ia memanggil,
Alecia       : "Ibu... ini ada film kesukaan Ibu!"

Ibu            : "Iya... biarin aja, Ibu belum beres." Jawab ibu dari belakang rumah.

Alecia       : "Masih lama tidak, nanti keburu udahan, lho!"

Ibu             : "Sebentar lagi."

Alecia       : "Cepetan, Cia mau ditemani Ibu."

Ibu            : "Iya-iya, sebentar lagi, nih!"

Alecia menunggu ibu dengan tidak sabar.
Sepuluh menit kemudian ibu datang.

Alecia           : "Sini, Bu. Seru, nih!"

Ibu duduk di samping Alecia.
Mereka menonton TV dengan asyik.
Tidak lama ayah memanggil ibu, minta dibuatkan kopi.
Ibu segera ke dapur membuat kopi untuk ayah dan meletakkannya di meja kerja ayah.

Ayah           : "Terimakasih, Bu...." Sambut ayah.

Ibu                : "Iya...."

Alecia         : "Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...." Berkali-kali batuk.

Ibu               : "Cia, minum lagi obatnya."

Alecia         : "Sudah habis, Bu."

Ibu               : "Ooo... tar Ibu buatkan lagi." Ibu menuju dapur mengambil rempah-rempah yang biasa digunakan untuk membuat obat batuk, yaitu cengkeh, kayu manis, jahe merah, kapol, dan pala, masing-masing satu sendok takar, ditumbuk hingga halus, lalu diseduh air panas, disaring, dikasih sedikit madu lalu dikocok.

Ibu               : "Ini diminum dulu mumpung hangat!" Duduk di samping Alecia sambil mendekatkan cangkir dan sendok ke mulutnya, menyuapi tiga sendok makan.
Ibu               : "Nanti kalau batuk lagi minum satu sedok, ya!"

Alecia         : "Iya."

Ibu melihat ke arah jam dinding, jarum jam menunjukkan pukul sebelas, ibu segera bersiap-siap hendak menjemput Kinanti pulang sekolah.
Ibu              : "Ibu jemput Kinan dulu, yaa...!" Berseru pada Ayah dan Alecia.

Ayah           : "Beliin rokok sekalian, Bu!" Pinta ayah.

Ibu              : "Iya...." Ibu segera ke luar dan mengendarai motornya, menuju TK tempat Kinanti bersekolah.

Lima belas menit kemudian ibu sudah tiba di rumah lagi.
Alecia senang Kinanti sudah pulang, jadi ada yang menemani menonton TV.
Ibu memberikan rokok pada ayah, lalu kembali ke ruang TV, membantu Kinanti melepas seragam sekolahnya.
Ayah berseru dari ruang kerjanya.

Ayah              : "Bu... tolong siapin makan dong, ayah sudah lapar."

Ibu                 : "Iya."

Alecia            : "Bu, Ibu sama Ayah usianya lebih tua siapa?" Menatap ibu.

Ibu                  : "Lebih tua Ibu, tapi hanya satu minggu, emang kenapa?" Menoleh ke Alecia.

Alecia            : "Kenapa Ayah suka nyuruh-nyuruh Ibu? berarti Ayah tidak sopan dong, nyuruh-nyuruh yang lebih tua."

Ibu tertawa kecil menoleh ke arah Alecia.
Ibu                 : "Ibu kan istri Ayah, jadi seorang istri harus melayani suami, walau pun lebih tua usianya. Itu namanya kewajiban. Kalau sopan santun, tidak hanya untuk orang yang lebih tua saja, tapi berlaku untuk kesemuanya. Jadi Cia harus sopan baik sama Ibu, Ayah, Teteh, atau Kinan, walau pun Kinan adik Cia."


Alecia        : "Ooo... kalau Cia kewajibannya apa?" Alecia mengerutkan mulut, sambil  berpikir.

Ibu             : "Cia kan masih anak-anak, belum punya kewajiban. Anak-anak itu masih belajar, jadi banyak-banyaklah belajar biar pintar." Tersenyum sambil mengusap-usap kepala Alecia.


Alecia       : "Iya, Bu. Tapi Cia lagi sakit, jadi tidak bisa belajar."

Ibu            : "Belajar bukan hanya di sekolah, tapi dimana pun kita belajar. Barusan Cia juga belajar, tentang kewajiban dan sopan santun." tersenyum, lalu berjalan menuju dapur, menyiapkan makan untuk ayah.

Kinanti     : "Iya, Cia. Belajar tuh!" Sambil memindah-mindahkan chanel TV.

Alecia       : "Emang Kinan belajar apa?"

Kinanti     :  "Nonton."

Alecia       : "Apaan tuh! Bu... masa Kinan belajar nonton, hahaha...." Berseru pada ibu.

Ibu             : "Dari TV juga kita bisa belajar. Tonton acara yang baik."

Kinanti      : "Yeee... Kinan maunya belajar nonton aja...!" Bersorak senang.

Alecia        : "Cia juga mau." Sambil membetulkan bantal, mencari posisi nyaman untuk menonton.

Alecia dan Kinanti pun menonton TV bersama.

***

Sadar akan profesi, kewajiban, akan menumbuhkan rasa nyaman dalam menjalani kehidupan. Sedangkan hak akan didapatkan, meski tidak selalu dari yang bersangkutan, sebab Tuhan tidak pernah salah, mengasihi dan menyayangi makhluknya.
Julianti, Ciputat, 21072016

Jumat, 16 September 2016

CELOTEH ANAK - Nilai

CELOTEH ANAK

Nilai

Nabasa saat ini sedang belajar berbisnis, berdagang.  Ia memproduksi mainan 'Slime'  dan menjual pada teman-temannya di sekitar kompleks rumah, juga di SD tempat ia bersekolah.
Tidak banyak keuntungan yang didapat, namun cukup membanggakan dan juga menyenangkan baginya, sebab bisa bermain sekaligus menghasilkan, punya uang jajan hasil usaha sendiri dan sebagian ia sisihkan untuk ditabung.
Melihat kakaknya senang bisa berjualan, Alecia yang masih duduk di SD kelas satu, berpikir untuk mengikuti Nabasa yang sekarang kelas enam. Tapi ia mau berjualan yang lain, yaitu alat-alat tulis. Ia minta bantuan Nabasa untuk mengantarnya berbelanja setiap ada pesanan dari teman-temannya.
Suatu hari kakek datang berkunjung ke rumah mereka.
Nabasa, Alecia, Kinanti, sangat senang sebab sudah lama tidak bertemu kakek.
Seperti biasa kakek suka memberi uang untuk jajan cucu-cucunya.
Wah... tentu saja Nabasa, Alecia, dan Kinanti tambah senang. Mereka mempunyai rencana masing-masing atas uang yang diperolehnya.

Nabasa       : "Asyiiik... Teteh punya tambahan modal untuk bikin JUMBO SLIME!" Ungkap Nabasa pada adik-adiknya.

Alecia         : "Iya... Cia juga mau tambahin macam-macam jualannya, ah!" Sahut Alecia semangat.

Kinanti hanya menatap acuh tak acuh terhadap tingkah kakak-kakaknya.

Alecia         : "Kinan, uangnya buat apa? mau jualan apa? biar nanti tambah banyak!" Menyemangati Kinanti.

Kinanti mengerutkan mulutnya sambil menggelengkan kepala.

Samar-samar dari jauh terdengar suara musik yang sudah tidak asing lagi ditelinga anak-anak. "Te... no... net..., te... no... net..., te ne ne ne ne, not."

Kinanti segera pergi ke luar, memanggil ibu yang sedang menyiangi tanaman bunganya di halaman rumah.

Kinanti     : "Bu... tolong beliin!" Berdiri di pinggir jalan depan rumah.

Suara itu semakin mendekat, rupanya abang tukang es krim datang.
Ibu menghampiri kinanti, yang sudah siap dengan uang lima puluh ribu di tangannya

Kinanti    : "Bang... beli!"

Abang tukang es krim menghampiri Kinanti. Berhenti dan membuka box tempat es krimnya.
Kinanti digendong ibu, melihat-lihat ke dalam box dan mengambil es krim yang ia suka.
Ibu memperhatikan.
Kinanti memberikan uangnya ke tukang es krim.
Tukang es krim memberikan kembalian uang ke ibu.
Ibu menghitung uang kembalian, lalu memberikannya ke Kinanti.
Ibu           : "Kinan, ini simpan uangnya di dompet Kinan!"

Kinanti menerima uang dari ibu dengan semringah. Turun dari pangkuan lalu berjalan sambil loncat-loncat menghampiri kakak-kakaknya.
Kinanti     : "Teteh... Cia... lihat, uang Kinan jadi banyak...!" Memperlihatkan uang yang ada di genggamannya yang terdiri dari sepuluh ribuan empat lembar, dan lima ribuan satu lembar.

Alecia       : "Yaaa... itu sih malah berkurang!" Sambil tertawa kecil.

Nabasa     : "Masih banyakan uang kita dong...."

Kinanti     : "Apaan, cuma satu! Kinan ada lima lembar."

Nabasa     : "Iya... tapi nilai uang Kinan jadi berkurang."

Kinanti terdiam sambil berpikir, lalu segera masuk ke kamar mengambil dompet dan memasukkan uangnya.
Nabasa menghampiri.
Nabasa     : "Kinan, ngerti tidak, mengapa nilai uang Kinan jadi berkurang?"

Kinanti       : "Ngerti." Jawabnya santai, dan seperti enggan mendengar penjelasan dari kakaknya. Ia hanya terdiam entah apa yang dipikirkan anak usia empat tahun itu.
***

Sikap Kinanti seolah mengingatkan kita, pada sesuatu yang sering kita anggap akan menambah nilai pada diri kita, padahal tidak, bahkan dapat menguranginya.
Misalkan dalam menjalankan ibadah sehari-hari, kita merasa menambah pahala atau nilai untuk kehidupan kita, akan tetapi karena ketidaktahuan,  disertai sikap, ria, sombong, dan takabur, maka bukan hanya sia-sia, bahkan dapat mengurangi nilai atas apa yang telah kita lakukan.
Julianti, 9 September 2016

Jumat, 02 September 2016

CELOTEH ANAK - Motivator Hebat

CELOTEH ANAK
Motivator  Hebat

Tidak ada waktu lagi untuk bersantai, lima belas menit menjelang masuk sekolah pagi.
Perjalanan dari rumah ke sekolah sekitar sepuluh menit.
Nabasa dan Alecia bergegas mempersiapkan diri.
Ibu menunggu di atas motor dengan kostum lengkap: jeket, sepatu, celana panjang, helm, masker.
Setelah siap, anak-anak naik ke atas motor, Nabasa duduk di belakang ibu, Alecia duduk di depan ibu, masing-masing dengan helm-nya.
Motor dinyalakan, melaju cepat.
Di tengah perjalanan, terlihat antrian kendaraan begitu panjang.
Ibu berkata pada anak-anak,
Ibu             : "Waduh..., macet banget, sepertinya kita bakal terlambat, nih!"

Nabasa      : "Lewat jalan motong, Bu!"

Ibu              : "Ke mana, emang tahu jalannya?"

Nabasa      : "Tahu, belok kiri lewat jalan perkampungan, Teteh pernah lewat situ waktu mau kerja kelompok ke rumah teman."

Ibu             : "Ooo. Ayo kalau begitu!" Ibu membelokkan motor yang dikendarainya ke arah kiri.

Motor yang lain banyak juga yang lewat jalan itu.
Sampai di belokan, motor yang dikendarai ibu melaju pelan. Ibu melihat ke depan, tampak jalanan kecil menanjak sedikit curam, kanan kiri diapit parit, permukaan jalan tidak terlalu rata dan sepertinya licin. Ibu khawatir jika terus melaju akan terjatuh, kasihan anak-anak, lalu berpikir untuk meminta anak-anak turun sebentar, berjalan kaki hingga lewat tanjakan, motor akan ibu dorong.
Rupanya Nabasa dapat membaca kekhawatiran ibu, ia pun berkata,
Nabasa      : "Ayo, Bu! Kenapa berhenti?"

Ibu             : "Wah, jalanannya curam, licin lagi, Ibu tidak bisa, Nabasa!"

Nabasa      : "Ayo, Bu! Ibu bisa!" Memberi semangat.

Ibu             : "Nanti jatuh. Kalian turun aja dulu."

Nabasa      : "Tidak, Bu! Ibu past bisa! Gas! Gas!" Nabasa terus memberi semangat dan rasa percaya diri pada ibu.

Alecia yang duduk di depan hanya menatap jalanan tanpa kata-kata.
Ibu melihat ke belakang, tampak antrian motor yang lain menunggunya untuk segera melaju.

Nabasa      : "Ayo, Bu...! Gas! Gas!" Memperkuat suaranya.

Ibu pun menarik gas tanpa banyak pikir lagi, "Brrreeem...!" Suara motor menaiki tanjakan, ibu berkonsentrasi menjaga keseimbangan.
Akhirnya terlewati sudah satu tantangan.

Nabasa      : "Tuh kan, Ibu bisa!"

Ibu             : "Iya." Tersenyum walau jantungnya masih berdebar kencang.

Nabasa     : "Belok kiri, Bu!" Nabasa mengarahkan.

Ibu             : "Wah, berlumpur, becek, hati-hati baju kalian kecipratan kotor!"

Nabasa      : "Tidak apa-apa, lanjut terus, Bu!"

Ibu membawa motor dengan hati-hati, hingga sampailah di depan sekolah dengan selamat dan tepat waktu.

Ibu              : "Alhamdulillah...." Ibu menghentikan motornya dengan perasaan lega.

Nabasa dan Alecia turun dari motor, lalu mencium tangan ibu, pamit hendak masuk ke sekolah. Mereka berjalan menuju pintu gerbang sambil berbincang seru.
Ibu kembali mengendarai motornya melewati jalan yang biasa menuju rumah.
***

Banyak hal yang dilakukan seorang ibu atas dasar kasih sayang terhadap anaknya. Menghadapi tantangan, menerjang rintangan yang menghadang. Hingga pada titik pencapaian.
Anak-anak merupakan motivator yang hebat bagi seorang ibu.
Julianti, Ciputat 01092016

Kamis, 01 September 2016

POROS



POROS

"Kau adalah bola dunia
Yang akan terus berputar pada porosnya
Dan bergerak pada garis edarnya
Tidak akan keluar daripadanya
Jika itu terjadi, maka kiamatlah"
Julianti, Ciputat, 30082016 0200

Sabtu, 27 Agustus 2016

CELOTEH ANAK - Syukur

CELOTEH ANAK
Syukur

Alecia dan Kinanti baru sampai rumah setelah dijemput ibu dari sekolah, sebelum masuk, mereka membuka sepatu dan kaos kaki di teras rumah lalu menyimpannya di rak sepatu.
Alecia duduk di kursi depan TV sambil membuka baju seragam sekolahnya.
Kinanti mengikuti dan langsung mengambil remote TV dari atas meja.

Kinanti   : "Kok TV-nya tidak bisa nyala?" menekan tombol remote berkali-kali, lalu mendekati TV menekan tombol power di bagian bawah.
TV menyala, tapi terlihat gambar warna-warni pelangi tidak beraturan di layar.

Ibu          : "Itu TV-nya lagi rusak." Jawab ibu sambil meletakkan kunci motor di gantungan tempat kunci.

Kinanti   : "Tidak bisa nonton dong!" Mematikan TV dan meletakkan kembali remote di atas meja.

Alecia     ; "Ya... tidak apa-apa, biar tidak nonton TV mulu ya, Bu?" menoleh ke arah ibu.

Ibu          : "Iya...." Tersenyum sambil berjalan menuju lemari, mengambil baju ganti untuk Alecia dan Kinanti.

Alecia berganti seragam sekolah dengan pakaian rumah, lalu berjalan menuju tempat cucian baju, menaruh seragam ke tempat pakaian kotor dan kembali mendekati ibu.
Alecia     : "Bu, HP mana?"

Ibu          : "Di tas Ibu." Menunjuk ke arah tas di atas meja.

Alecia membuka tas, mengambil HP, mengutak-atik.
Alecia     : "Kok You Tube  tidak bisa, Bu?"

Ibu          : "Iya... internetnya mati, gangguan dari pusatnya, jadi tidak bisa Wi-Fi."

Kinanti   : "Tidak apa-apa... biar tidak main HP mulu." Mengomentari dengan santai.

Alecia menekuk mulutnya, menoleh ke arah Kinanti, meletakkan HP di atas meja.
Ibu tertawa kecil sambil membantu Kinanti berganti pakaian.

Kinanti    : "Kita main di taman aja, yu!" Mengajak Alecia.

Alecia      : "Iya, ayo!" Tampak semangat

Kinanti    : "Bu... temenin main ke taman, ya!"

Ibu menghela napas, diam sejenak, terasa badannya masih capek, hasrat hati ingin beristirahat di rumah saja, tapi melihat anak-anaknya tidak mengeluh saat TV rusak, internet mati, maka ibu memutuskan untuk menemani bermain di taman yang terletak di ujung jalan perumahan tempat mereka tinggal.
Ibu            : "Iya, nanti Ibu temani, tapi sambil makan, ya!"

Alecia       : "Iya...."

Kinanti     : "Horrreee...!" Bersorak dengan girang.

Ibu menyiapkan makanan dan minuman yang hendak dibawa ke taman.
Mereka berangkat bersama-sama dalam cuaca yang cukup terik.
Alecia dan Kinanti memakai payung mini.
Ibu mengenakan topi.
Sampai di taman, Alecia dan Kinanti menuju ayunan dan asyik bermain di bawah rindang pepohonan.
Ibu menyuapi makan.
***

Anak-anak ini tidak mengeluh dan dapat menerima keadaan saat TV rusak, internet mati. Bahkan mereka mencari solusi agar tetap dapat menikmati hari, yaitu dengan pergi ke taman untuk bermain.
"Tidak mengeluh," adalah wujud dari rasa syukur. Itulah pelajaran yang didapat ibu dari sikap dan celotehan anak-anaknya.
Julianti, Ciputat, 26082016

Selasa, 23 Agustus 2016

CELOTEH ANAK - Keluarga

CELOTEH ANAK
Keluarga

Alecia dan Kinanti sedang bermain kuis-kuisan, Alecia sebagai Host yang memberi pertanyaan, Kinanti sebagai peserta, menjawab.
Beberapa pertanyaan asal-asalan dan jawaban asal-asalan telah dilontarkan, hal ini membuat ibu dan Nabasa tersenyum memperhatikan, dan sampailah pada pertanyaan yang membuat ibu merasa  lucu juga haru.

Alecia    : "Kinan, apa yang lebih berharga dari emas berlian?

Kinanti  : "Emas berlian itu yang gimana?"

Alecia    : "Emas berlian itu yang sering ada di harta karun."

Kinanti  : "Ooo... yang selalu dicari Kapten Hook, ya?

Alecia     : "Iya."

Kinanti   : "Hhhmmm... apa ya?" Telunjuknya mengetuk-ngetuk pipi, mulut ditekuk, mata lirik kanan kiri atas bawah, tanda sedang berpikir.

Alecia     : "Tet tot... habis waktu! Jawabannya adalah... KELUARGA!"

Kinanti   : "Yaa... kalau KELUARGA sih Kinan tahu!"

Alecia      : "Apa?"

Kinanti    : "Ayah, Ibu, Teteh, Cia, Kinan."

Alecia      : "Ya, betul...! Terus, kenapa coba, Kapten Hook selalu mencari harta karun?"

Kinanti   : "Karena tidak ada Teteh, Cia, Kinan, Ibu dan Ayah!"

Alecia     : "Betul...!"

Keduanya bersorak sangat girang.
Ibu dan Nabasa ikut bertepuk tangan.
***

Lucu memang, terkadang kepolosan anak-anak dapat mengeluarkan celotehan tentang kebijakan yang seringkali sudah terlupakan oleh kita para orang tua, bahwa harta yang lebih berharga dari emas berlian adalah keluarga, dan KELUARGA merupakan HARTA yang NYATA bagi anak-anak.
Julianti, Ciputat, 21082016

Selasa, 16 Agustus 2016

#MyCupOfStory - KOPI SEJATI

KOPI SEJATI
Karya Cipta: Julianti


   Satrio menyusuri jalan setapak tepi danau, menuju padepokan Mbah Sukmo, dia hendak sowan, sudah lama tidak bertemu Sang Guru.
   Kanan kiri jalan ditumbuhi rumput jampang dan ilalang.
   Hujan siang tadi cukup deras, hingga meninggalkan bekas,  genangan air, membuat becek dan licin.
   Sepatu hitam mengkilat hasil disemir tadi pagi, dijinjing, sebab lebih nyaman berjalan dengan kaki telanjang.
   Kurang lebih lima ratus meter jarak dari jalan raya ke padepokan Mbah Sukmo.
   Sesampai di pintu gerbang, Satrio menuju pinggir danau  mencuci kaki. Setelah bersih, kembali mengenakan sepatu, berjalan menuju Pendopo Utama yang terletak di tengah-tengah antara saung-saung kecil yang terbuat dari bambu, beratap daun kirei.
   Satrio mengucap salam. "Assalamualaikum...." Melihat sekeliling mencari orang di sekitar pendopo, sepi seperti tidak berpenghuni. "Assalamualaikum... permisi...!" Belum juga ada jawaban. Satrio duduk di bangku bawah pohon kersen, bersandar dengan kepala menatap ke atas, terlihat banyak sekali buah kersen yang matang, berwarna merah,  tampak menggoda untuk dipetik dan dinikmati. Satrio naik ke atas bangku bambu tempat yang tadi dia duduki, memetik buah kersen dengan asyik sekali.
   Sesaat sebelum buah kersen itu masuk mulutnya, tiba-tiba...,
"Eeehhh... Ada tamu." Suara itu mengagetkan Satrio, buah kersen yang hendak dia masukkan ke mulut, terjatuh.
"Eh, iya. Mbah... kaget saya." Satrio mengelus-elus dadanya.
   Rupanya pemilik suara tadi adalah Mbah Sukmo.
"Kamu sih, terlalu asyik metik kersen." Sahut Mbah Sukmo.
"Hehehe... jadi malu saya."
"Wis, ojo malu-malu. Ayo, mau masuk atau makan kersen dulu?" Mbah Sukmo dengan nada santai.
"Iya, Mbah. Saya masuk saja." Satrio turun dari bangku, lalu berjalan mengikuti Mbah Sukmo, menuju saung di sudut barat pinggir danau, di antara pohon paku-pakuan yang tumbuh subur .
   Matahari senja mulai tampak, seiring angin meniup awan-awan kelabu yang tadi menutupi langit.
   Satrio berdiri menatap jauh ke sudut danau, menikmati pantulan cahaya matahari pada air danau yang jernih, tampak seperti cermin, cermin danau yang menunjukkan keindahan, kemolekan cakrawala senja yang sungguh luar biasa.
"Potret saja, jika kau mau, agar jadi sesuatu yang dapat dinikmati suatu saat nanti." Mbah Sukmo sambil mengeluarkan HP dan membidikkan kameranya.
"Iya, Mbah." Satrio mengikuti.
"Matahari senja itu begitu elok dan lembut, maka jangan sampai kau kehilangan momen berharga ini, kita bisa banyak belajar darinya." Mbah Sukmo sambil terus mengambil gambar-gambar cakrawala yang mempesona.
"Iya Mbah, indah banget." Jawab Satrio.
   Sementara Satrio dan Mbah Sukmo asyik memotret, datanglah Amen membawa baki dengan cangkir-cangkir kopi di atasnya.
"Taro di dalam saung saja, Men....! Terimakasih ya...." Mbah Sukmo menoleh ke  arah Amen.
"Iya, Mbah. Sama-sama." Jawab Amen.
"Itu kopi kita sudah datang, ayo ngopi dulu!" Ajak Mbah Sukmo. Berjalan menuju ke dalam saung.
   Satrio mengikuti.
   Mereka duduk berhadapan, di antara cangkir-cangkir kopi yang masih mengepul.
"Oh iya, jadi ingat, saya juga bawa kopi di tas." Satrio membuka tasnya, mengeluarkan bungkusan plastik berisi kopi. "Ini, Mbah... kopi Lampung, hasil  kebun kami, produksi sendiri, Mbah pasti suka, rasanya mantap." Memberikan bungkusan kopi pada Mbah Sukmo.
"Wah... terimakasih banyak, kopi sejati pasti mantap."
"Kopi... sejati?" Satrio menatap Mbah Sukmo mengharap penjelasan.
"Iya, mulai dari benih, ditanam, dirawat, dipanen, diolah, hingga diseruput mulut, jika dilakukan dengan penuh cinta kasih, pasti rasanya nikmat, sebab segala sesuatu di alam ini memiliki jiwa, maka sentuhlah dengan jiwa."
"Ooo... iya, Mbah." Satrio tersenyum, menoleh ke arah kopi yang tersaji di  cangkir. Terdapat empat cangkir. Dia merasa heran, mengapa ada empat cangkir, sedangkan mereka hanya berdua.
   Belum sempat bertanya, Mbah Sukmo sudah memulai pembicaraan.
"Sudah satu minggu ini ada Mbah Bidho dan Mbah Macan rawuh."
"Ada di sini sekarang, Mbah?"
"Iya." Jawab Mbah Sukmo.
   Satrio menoleh ke kanan kirinya, melihat sekeliling, sepi, hanya mereka berdua di situ.
"Di mana Mbah Bidho sama Mbah Macan?"
"Di sini, sekarang bersama kita." Tegas Mbah Sukmo.
   Satrio tersenyum menatap Mbah Sukmo, menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak mengerti.
"Coba kamu pakai kamera HP-mu, potret saya!" Pinta Mbah Sukmo.
   Satrio mengambil HP,  membidikkan kameranya, mengambil posisi clos up, memotret Mbah Sukmo.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Mbah Sukmo.
   Satrio tertegun melihat foto hasil jepretannya, menoleh ke arah Mbah Sukmo,  
"Mbah, boleh saya coba sekali lagi?"
"Ya... silahkan!"
   Satrio membidikkan kameranya kembali, masih terlihat wajah Mbah Sukmo di layar kamera. Lalu dia klik, hasil fotonya sama seperti tadi yang pertama dia potret.
"Apa yang kaulihat?" Tanya Mbah Sukmo.
"Hhmm... ini Mbah." Satrio menggeser duduknya, mendekati Mbah Sukmo, memperlihatkan hasil jepretan kameranya, "Ini seperti sebongkah berlian, kilauan-kilauan cahayanya sangat cantik, seperti diliputi pelangi." Satrio terlihat kagum.
"Ya, itu Mbah Bidho Cakrawala Angkasa. Penguasa Angkasa." Jawab Mbah Sukmo, sambil melepas ikat kepalanya.
"Ooo...," mengamati dengan seksama fotonya. "Terus bisakah saya melihat Mbah Macan?" Tanya Satrio.
"Coba saja." Mbah Sukmo mengurai rambutnya yang panjang, putih, seputih warna kumis dan jenggotnya yang panjang. Mbah Sukmo mengambil rokok kreteknya, menyalakan korek, membakar ujung rokok hingga timbul bara, menyedot, lalu keluar asap dari mulutnya.
   Satrio kembali ambil posisi memotret. Klik. Dia langsung melihat hasil kameranya, mengerutkan dahi, menatap dengan seksama. Kembali mendekati Mbah Sukmo, "Mbah, yang ini cahaya pelanginya membentuk, menyerupai kepala macan, menyeramkan tapi mempesona."
   Mbah Sukmo menghela napas panjang, menatap tajam Satrio, "Itulah Mbah Macan." Mbah Sukmo kembali menyedot rokoknya sambil mengelus jenggot serta mengenakan ikat kepalanya seperti semula.
   Satrio masih menatap kamera. Suasana hening sejenak, hanya terdengar  samar-samar suara kendaraan lalu-lalang dari kejauhan.
"Ayo kopinya diminum dulu!" Mbah Sukmo mengambil cangkir kopinya, menyeruput hingga terdengar bunyi dari mulutnya.
"Iya, Mbah. Terimakasih." Satrio mengikuti, menyeruput kopinya. "Mbah, ini kopi yang dua untuk Mbah Bidho dan Mbah Macan, ya?" Mengarahkan pandangan pada kedua cangkir yang ada di hadapan mereka.
"Bukan, beliau sukanya ikan, aroma sere dan alang." Jawab Mbah Sukmo.
"Terus ini buat siapa?" Satrio heran.
"Mbah-mu!"
"Ooo... buat Mbah?"
"Iya, Mbah-mu." Mbah Sukmo dengan santai.
"Hehehe... saya serius nih, Mbah." Satrio tertawa mendengar ucapan Mbah Sukmo yang seperti meledeknya.
"Lha, aku juga serius!" Mbah Sukmo menatap Satrio.
"Maksudnya?"
"Kamu tidak tahu dari tadi ada Mbah Putri dan Mbah Kakung ikut bersamamu?"
"Masa sih, Mbah?"
"Aku tahu kopi yang kamu bawa itu pasti mantap, sebab Mbah-mu dulu menanam, memelihara dan mengolahnya penuh cinta kasih, nah sekarang beliau wariskan perkebunan itu untuk dikelola keluargamu, bukan?"
"Kok Mbah Sukmo tahu?"
"Lha, Mbahmu yang cerita ke aku, tadi kami berbincang." Mbah Sukmo menyedot rokok, meniupkan asap dari mulutnya. "Aku yakin perkebunan kopi, dan pabrik pengolahan kopi milik keluargamu akan sukses, asalkan kalian tidak serakah, baik terhadap sesama manusia atau pun alam semesta, dan harus selalu kalian pegang nilai-nilai yang sudah diwariskan oleh Mbah-mu juga para leluhurmu." Mbah Sukmo  berpesan pada Satrio.
"Iya, Mbah." Satrio menunduk mendengarkan pesan Mbah Sukmo.
   Suasana sekitar danau berangsur gelap, senja berganti malam, cuaca terasa dingin, awan di langit sudah menebal lagi, tidak lama hujan pun turun.
"Waduh, hujan!" Keluh Satrio.
"Hujan itu kan berkah, mengapa kau keluhkan?" Mbah sukmo sambil menatap air hujan jatuh di air danau.
"Iya, Mbah. Tapi masalahnya saya harus segera pulang, tadinya mau pamitan sebab ada janji sama klien setelah ini."
"Ooo... kalau begitu coba kamu bikinin kopi dulu satu gelas, pakai kopimu. Tuh, sana ke dapur, ada Amen, minta bantuan dia." Pinta Mbah Sukmo.
"Baik Mbah." Satrio berjalan menuju dapur yang terletak di saung sudut utara.
Beberapa menit kemudian dia kembali membawa segelas kopi. "Ini kopinya, Mbah."
"Persembahkan aromanya untuk hujan, minta hujannya pindah dulu ke kota lain, sebab kamu mau lewat." Tutur Mbah Sukmo.
   Satrio mempraktikkan petunjuk Mbah Sukmo. Dia berjalan menuju pinggir saung sambil memegang segelas kopi, meletakkannya di bangku teras dengan hati-hati, sambil berbisik, "Puniko unjuk dahar sekedaripun. Monggo dipun tampi pisungsun saking Satrio."
   Satrio menengadah ke langit, kedua tangannya mengembang merentang seiring pandangan mata. Rambutnya yang ikal agak gondrong  terkena tampias air hujan, hingga terlihat titik-titik bening seperti embun.
   Tiga puluh menit kemudian hujan pun redalah, bahkan berhenti.
   Satrio menangkupkan kedua tangan di wajahnya, lalu menatap cakrawala, "Wah... luar biasa! Kopi ini sungguh dahsyat, ajaib, bisa menghentikan hujan!" Satrio tersenyum lebar. Pemuda tampan berkulit sawo matang itu pun merunduk hormat pada Mbah Sukmo.
"Karena kau memberikannya dengan tulus. Dan tepat sekali, kopimu memang dahyat dan ajaib, karena dari awal sampai akhir, diproses dengan penuh cinta kasih." Mbah Sukmo tersenyum.
"Keren, Mbah! Saya sudah punya merek untuk kopi saya, yaitu..., KOPI SEJATI." Satrio menggerakkan alisnya, menatap Mbah Sukmo, tanda meminta persetujuan.
"Iya, bagus, KOPI SEJATI: ditanam, dirawat, diproses, dan disajikan sepenuh hati dengan cinta kasih." Mbah Sukmo tersenyum lebar.
   Tidak lama Satrio pun pamitan. Melangkah meninggalkan padepokan dengan perasaan senang.

***

Julianti, Ciputat 17 Agustus 2016
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com*

Rabu, 10 Agustus 2016

CELOTEH ANAK - Kata Hati

CELOTEH ANAK

Kata Hati

Saat liburan lebaran, sungguh menyenangkan, di mana semua anggota keluarga, sanak saudara berkumpul, bercengkerama, saling bertukar cerita. Begitu pun bagi anak-anak, mereka terlihat bahagia bermain bersama.
Kinanti paling kecil diantara saudara-saudaranya yang lain, tapi ia tidak mau kalah, tidak mau ketinggalan jika kakak dan saudara-saudaranya bermain atau berjalan-jalan, selalu ikut serta.
Saat Nenek menyuruh cucunya yang sudah besar untuk membeli bumbu ke warung yang jaraknya cukup jauh, Kinanti memaksa ingin ikut. Akhirnya semua saudara yang lain juga ikut.
Sepulang dari warung, Kinanti menghampiri ibu dengan wajah cemberut, matanya berkaca-kaca.

Kinanti   : "Ibu...."

Ibu           : "Ya, kenapa, Kinan?"

Kinanti   : "Ibu pernah ga dibohongi?"

Ibu          : "Hhmm... pernah."

Kinanti   : "Ga enak kan, Bu?" Air matanya mulai menetes.

Ibu         : "Iya. Emang kenapa, Kinan dibohongi?" Menatap wajah Kinanti yang sudah basah dengan air mata.

Kinanti   : "Iya." Terisak-isak.

Ibu           : "Dibohongi gimana?"

Kinanti  : "Tadi Kinan ikut ke warung, pulangnya Kinan jalan paling depan, kata yang lain, 'terus aja lurus', pas Kinan lihat ke belakang, mereka sudah tidak ada, Kinan sendirian, bingung, lewat jalan mana, banyak belokan,"  tangisannya makin menjadi.

Ibu memeluk Kinanti
Ibu           : "Terus gimana Kinan bisa sampai rumah?"

Kinanti    : "Hati Kinan bilang, harus belok kanan."

Ibu            : "Ooo... jadi Kinan ikuti kata hati ya?"  

Kinanti    : "Iya, terus pas sampai rumah, mereka malah tertawa. Kinan jadi sakit..., Bu. Sakit... hati Kinan."

Ibu terharu melihat Kinanti menangis tersedu-sedu, tapi juga lucu,  mendengar putri kecilnya curhat layaknya orang dewasa, sambil tersenyum ibu mengusap air mata Kinanti dengan jari tangan, mengelus-elus kepalanya.
Ibu        : "Iya... mungkin mereka mau main-main, bercanda sama Kinan."

Kinanti : "Tapi hati kinan jadi tidak enak!" Memotong pembicaraan.

Ibu      : "Nanti Ibu bilang sama mereka, jangan suka main seperti itu, bikin Kinan bingung dan sakit hati. Sekarang Kinan minum dulu yu! Cuci muka biar segar...."  Ibu menggendong Kinanti menuju kamar mandi, mencuci mukanya, menyeka dengan handuk. Menuju dapur, mengambil air minum, memberikannya pada Kinanti. Setelah Kinanti reda tangisnya, ibu menghampiri kakak dan saudara-saudaranya yang tadi bersama-sama pergi ke warung. Menceritakan apa yang dirasakan Kinanti, menasehati agar tidak terulang lagi. Mereka pun minta maaf, sebab tadinya hanya bermaksud main-main saja, agar seru. Setelah saling bersalaman Kinanti kembali bermain bersama.
***


Kata Hati

Saat tersakiti
Saat terintimidasi
Seolah tidak ada yang dapat dipercayai
Coba, dengarkanlah kata hati
Kata hati yang murni
Datang dari Sang Pemilik hati
Akan menerangi
Jalan gelap penuh duri
Melangkah
Menuju kebaikan
Mengarah pada kebenaran
Hingga titik pencapaian
Dengarkan
Renungkan
Sikapi
Lalui
Dia akan selalu menemani.
Julianti, Cianjur, 08072016

Jumat, 05 Agustus 2016

CELOTEH ANAK - Kambing Hitam

CELOTEH ANAK 

Kambing Hitam

Siang menjelang sore, hujan lebat, geluduk bergemuruh disertai kilat, angin bertiup kencang. 
Ibu membaca buku di saung halaman belakang rumah, sambil menikmati alunan nada alam yang dicipta oleh hujan.
Samar terdengar suara teriakan.

"Ibu...!"

Ibu menoleh ke arah suara, memfokuskan pendengaran.

"Ibu...!"

Ternyata suara itu datang dari kamar Kinanti. Ibu segera bangkit, jalan bergegas menghampiri Kinanti yang sedang tidur siang. Membuka pintu kamar, terlihat Kinanti duduk di sudut kasur.

"Bocor, Bu...!" Kinanti menunjuk ke arah kasur yang basah.

"Hadduuuhhh... baru dibetulin gentengnya, kok bocor lagi!" Ibu berlari ke dapur mengambil baskom dan lap. Kembali ke kamar memasang baskom dan lap di atas kasur. Ibu mengendus, tercium aroma tidak sedap. Melihat atap kamar, kering, tidak tampak tetesan air. Melihat ke arah Kinanti yang dari tadi duduk memperhatikannya.

"Hhmmm... coba sini, Kinan." Pinta ibu.

Kinanti bergeser mendekati ibu.
Ibu meraba celana dan baju Kinanti, menciumnya.

"Kinan ngompol, ya?" tanya ibu sambil tertawa kecil.

"Ga tahu...." Kinanti dengan wajah polosnya.

"Ohh... iya, tidak apa-apa, ayo buka bajunya, biar mandi sekalian." Ibu membuka baju Kinanti, menggendongnya ke kamar mandi sambil menahan tawa, sebab khawatir Kinanti malu jika ditertawakan.
***

Cerita ini memberi gambaran, bahwa banyak orang yang sering mencari Kambing Hitam, atau melimpahkan kesalahan yang diperbuatnya pada pihak lain, secara sadar atau pun tidak. Apalagi pihak tersebut sudah memiliki banyak catatan kesalahan, maka tuduhan langsung diberikan.

Hindari prasangka, analisa data dengan saksama, maka akan tampak yang sebenarnya.
Julianti, Ciputat, 03072016

Rabu, 03 Agustus 2016

CELOTEH ANAK - Strategi

CELOTEH ANAK

Strategi

Ibu sedang sibuk memasak di dapur.
Tiba-tiba Kinanti datang menghampiri.

Kinanti     : "Bu, main yu!"

Ibu             : "Ibu masak dulu ya."

Kinanti      : "Aahh... Ibuu... ayo...!" Merengek.

Ibu              : "Ibu lagi masak, main sendiri dulu, ya....!" 

Kinanti cemberut, lalu duduk di kursi makan.
Kinanti       : "Bu... Kinan mau kue...." Teriak.

Ibu               : "Itu ada di meja."

Kinanti        : "Bukan yang begitu."

Ibu               : "Terus mau kue apa?"

Kinanti   : "Itu lho... yang dari tepung, pake gula, enak pokoknya."

Ibu            : "Hhmm..... kue apa namanya? udah... makan yang ada saja...!"

Kinanti         : "Ibu punya tepung kan?"

Ibu                 : "Punya."

Kinan            : "Punya gula?"

Ibu                 : "Ada."

Kinanti          : "Dimana?"

Ibu                 : "Ada di dalam box." Masih sibuk di dapur.

Kinanti menuju lemari di ruang makan, membuka box yang ada di dalamnya, mengambil tepung terigu dan gula pasir, lalu mengambil mangkuk dan sendok. Membuka tepung yang masih dalam pelastik dengan gunting, menuangkannya ke mangkuk dicampur gula. 
Kinanti     : "Wah, ini lebih enak kalau pakai telur." Menuju kulkas, mengambil telur ayam, ia pecahkan,  isinya dimasukkan ke mangkuk, kulitnya disisihkan, lalu diaduk bersama tepung dan gula, diberi air. Setelah tercampur rata, ia menghampiri ibu.
Kinanti    : "Bu, ini tolong masakkin, dong...." Menyodorkan mangkuk berisi adonan.
.
Ibu         : "Ya ampun... Kinan mainin tepung, ya?" Terkejut menatap Kinanti.

Kinanti     : "Bukan mainin, Bu. Tapi membuat kue." Dengan percaya diri.

Ibu               : "Waduh...! Tepungnya sampai berantakan di lantai."

Kinanti   : "Ga apa lah, Bu. Kan kuenya enak. Ayo dong masakkin... please....!" Dengan wajah memelas.

Ibu                : "Plas plis-plas plis, nanti dimakan ga?"

Kinanti         : "Dimakan, lah."

Ibu                : "Sebentar lagi ya, Ibu selesaikan dulu ini."

Ibu membereskan alat-alat masak: wajan dan panci. Lalu mengambil adonan buatan Kinanti, memasaknya pakai cetakkan kue bulat. Setelah matang memberikannya pada Kinanti.

Kinanti   : "Asyiiik... sudah matang, makasih, Ibu...! Ini makannya harus pakai susu." Sambil senyum-senyum mengambil susu kental manis dituangkan di atas kue. Makan kue dengan lahap.

Ibu membersihkan lantai sambil tersenyum melihat tingkah Kinanti.
***

Anak-anak adalah pejuang yang gigih, sering menggunakan segala cara untuk memenuhi keinginannya. Kali ini, Kinanti memberi inspirasi, bahwa perlu strategi, jika ingin tetap berkreasi dalam kondisi yang tidak kondusif.
Julianti, Ciputat 30062016


Jumat, 29 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Tepa Salira

CELOTEH ANAK

Tepa Salira

Nabasa, Alecia, Kinanti dan Ibu, sedang menonton tv sambil makan timun. 
Kinanti menghampiri ibu, menyodorkan sepotong timun sisa, bagian ujungnya, ke mulut ibu.

Kinanti   : "Bu, A!" 

Ibu memegang tangan Kinanti, melihat ke arah timun itu.
Ibu           : "Mmm... tidak mau!" Sambil menggelengkan kepala.

Kinanti    : "Biasanya Ibu mau. A!" Sedikit memaksa.

Rupanya Nabasa memperhatikan tingkah Kinanti, dengan suara agak kencang ia memberitahu.
Nabasa  : "Kinan, Itu kan pahit! Kenapa dikasih Ibu? jangan mentang-mentang Ibu suka makan sisa kita, asal kasih aja!" 

Kinanti melihat ke Nabasa dengan raut muka cemberut.

Ibu     : "Sini Kinan...." Memanggil Kinanti dengan lembut, menarik tangannya perlahan. 

Kinanti duduk dipangkuan ibu.

Ibu            : "Kinan tahu tidak, itu pahit?"

Kinanti     : "Tahu."

Ibu             : "Kenapa disuapin ke Ibu?"

Kinanti   : "Ibu kan suka makan, makanan Kinan yang tidak habis."

Ibu         : "Kalau Kinan merasa pahit, kemungkinan yang lain juga sama. Harusnya tanya dulu, suka atau tidak. Jadi jangan langsung suapin aja, apalagi memaksanya." Menatap Kinanti sambil tersenyum.

Kinanti    : "Iya, Bu." Kinanti menaruh timun sisa di atas meja, mengambil kembali timun baru yang sudah dibelah, dibuang ujung yang pahitnya, lalu menyuapi ibu.

Kinanti     : "Ini tidak pahit, Bu. A...!"


Nabasa     : "Nah... begitu, dong!" Kembali menonton tv.

Ibu tersenyum sambil mengunyah.
Alecia tertawa kecil.


Anak-anak melakukan apa yang sering mereka lihat, tanpa banyak berpikir, atau merasakan. 
Jika orang dewasa masih seperti itu? mungkin lupa, bahwa sudah  bukan anak-anak lagi.☺
Tepa salira: dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, menyikapi dengan bijak, adalah ciri orang yang berjiwa dewasa.
Julianti, Ciputat, 20072016

Minggu, 24 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Berani Jujur

CELOTEH ANAK

Berani Jujur

Nabasa sedang asyik dikamarnya membuat slime mainan pesanan temannya.
Tiba saat makan siang, tapi Nabasa belum keluar kamar juga. Ibu penasaran.

Ibu : “Nabasa... makan dulu...!"

Nabasa : “Iya, Bu... nanti....”

Ibu : “Nanti sakit perut kalau makannya terlambat lagi.” Membuka pintu kamar, terlihat berantakan, peralatan dan bahan-bahan untuk membuat slime. 
Wajah Nabasa tampak cemberut sambil terus mengaduk, meremas, menarik,  slime buatannya.

Ibu : “Kenapa cemberut?”

Nabasa : “Gagal.”

Ibu : “Apanya yang gagal?”

Nabasa : “Slime-nya kurang stretching, terus kalau ditekan-tekan kurang berbunyi.”

Ibu : “Kenapa bisa begitu?”

Nabasa : “Tadi mencoba resep baru, tapi hasilnya tidak seperti biasa, walau pun yang ini bisa lebih mengembang dan lebih lembut.” Mengkerutkan mulutnya, terlihat begitu kecewa.

Ibu          : "Kalau tidak biasa berarti luar biasa, dong!"

Nabasa   : "Ah, Ibu." Makin cemberut.

Ibu          : "Itu juga bisa dijual."

Nabasa   : "Kalau ini dijual, nipu orang, dong! Sudah tahu gagal."

Ibu      : "Ya... bilangin ke temannya, bahwa slime ini kurang stretching, bunyinya kurang, tapi lebih lembut dan mengembang. Katakan yang sebenarnya. Jika dia mau, bagus, kalau tidak mau pun tidak apa-apa, kan masih bisa dimainin, kasih Cia atau Kinan pasti senang."

Nabasa   : "Tidak apa-apa ya, Bu?"

Ibu         : "Tidak apa-apa, sebagai bahan percobaan, kalau tidak ada yang gagal, kita tidak akan tahu yang berhasil seperti apa."

Nabasa  : "Iya, deh." Nabasa memasukkan slime pada kemasan, membereskan peralatan yang berantakan, lalu cuci tangan dan makan siang.
Tidak lama temannya datang. Nabasa segera mengambil slime pesanannya, menceritakan keadaan slime itu, juga menunjukkan cara bermainnya.
Temannya tertarik dan mau beli.
Nabasa sangat senang, wajahnya berseri, tersenyum lebar, menghampiri ibu.

Nabasa  : "Alhamdulillah... Ibu... dia mau.. dibeli semuanya!"

Ibu      : "Alhamdulillah...." Tersenyum senang melihat Nabasa berani mengakui kekurangannya, dan tidak cemberut lagi.


Berani jujur atas ketidaksempurnaan, kadang sulit. Apalagi jika menyangkut masalah untung rugi, kekurangan sering dimanipulasi, agar tertutupi, kelebihan dipangkas bahkan dikorupsi. 
Berani jujur, harus ditanamkan dari sejak dini. Semoga menjadi berkah dikemudian hari.
Julianti, Ciputat, 23072016

Kamis, 21 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Sabar

CELOTEH ANAK

Sabar 

Memiliki anak sehat tentu dambaan seorang ibu. Banyak cara dilakukan, diantaranya dengan memberi makanan yang bergizi. Namun kadang harapan ibu tidak sejalan dengan selera makan anak. Seperti yang dialami Kinanti saat makan siang disuapi ibu.

Ibu         : "Kinan... ayo makannya ditelan, jangan diemut."

Kinanti  : "Sabar, Bu." Sambil matanya terfokus pada tv.

Ibu         : "Kalau makannya diemut terus, tv-nya Ibu matiin ya!" 

Kinanti  : "Sabar, Bu." Mengambil remote tv, 
menyembunyikannya di balik  baju.

Ibu   : "Sabar, sabar, emangnya tahu apa itu sabar?" menatap Kinanti yang masih fokus ke tv.

Kinanti  : "Sabar itu... Ibu harus tunggu, kinan kan lagi ngunyah."

Ibu         : "Ngunyahnya kelamaan."

Kinanti : "Ah, Ibu. Kinan... tidak suka sayur, jadi ngunyahnya lama."

Ibu          : "Makan sayur itu sehat..., juga bikin cantik."

Kinanti  : "Iya... makanya Ibu harus sabar, biar Kinan sehat dan cantik."

Ibu      : "Hhmmm... iya tapi kalo diemut terus nanti giginya rusak."

Kinanti : "Iya... iya... nih Kinan kunyah cepat." Kepalanya manggut-manggut sambil mulut mengunyah, seakan gerakan kepala adalah efek dari mengunyah cepat.

Ibu          : "Hehehe...." Tertawa melihat tingkah Kinanti.


Sabar menurut celotehan Kinanti yaitu ibu harus mau menunggu proses, agar harapan sejalan dengan kenyataan. Sebab harapan baik, belum tentu berjalan baik, banyak faktor yang dapat mempengaruhi, disinilah kesabaran diuji.
Julianti, Ciputat, 02072016

Senin, 18 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Kematian

CELOTEH ANAK

Kematian

Hari sabtu, Alecia tidak masuk sekolah dikarenakan libur, ia menemani ibu membereskan tempat tidur. 

Ibu   : "Nanti kalau sudah SD, Cia harus sudah  bisa membereskan tempat tidur sendiri, ya...!" Sambil melipat selimut.
Alecia     : "Ooo... kalau sudah sebesar Teteh, ya?"
Ibu          : "Iya." 
Alecia   : "Kalau setelah SD, itu SMP ya, Bu?" berjalan menuju sudut kamar dan terdiam di depan cermin besar, melihat dengan seksama tubuhnya yang tampak jelas di cermin dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ibu          : "Iya, betul." Menoleh ke arah Alecia.
Alecia     : "Terus SMA, kuliah, kerja, terruuus... jadi seperti Ibu?" 
Ibu          : "Iya."
Alecia    : "Ah, Cia tidak mau seperti Ibu." Sambil terus menatap ke arah cermin.
Ibu          : "Kenapa?" mendekati Alecia sambil tersenyum heran.
Alecia    : "Kalau Cia jadi seperti Ibu, nanti Ibu jadi nenek-nenek dan meninggal. Cia ngga mau! Nanti tidak ada Ibu lagi."
Ibu memeluk Alecia.
Ibu      : "Tidak apa-apa... kan nanti Cia kalau sudah dewasa, punya suami, punya anak. Sama seperti Ibu sekarang, punya Cia."
Alecia  : "Tapi... nanti... Cia... tidak punya ibu lagi kalau meninggal." Alecia memeluk ibu sambil terisak. Air mata berderai, membasahi pipinya yang sedikit tembam.
Ibu terharu mendengar ucapan Alecia, namun tetap tersenyum menatap wajah buah hatinya yang basah oleh air mata. 
Ibu          : "Jangan takut, itu kan masih lama... banget."
Alecia     : "Cia tidak mau...."
Ibu       : "Ibu, Ayah, Teteh, Cia, Kinan, dan semua yang ada di alam ini, adalah punya Allah. Jadi... kalau Allah mau mengambilnya... kita tidak bisa melarang, tidak usah bersedih. Setiap yang hidup itu pasti akan mati, hanya kita belum tahu waktunya kapan. Sekarang Ibu masih ada. Makanya... Cia... jadilah anak yang baik, rajin belajar,  solehah, sayang Ibu, Ayah, Teteh, Kinan, dan semua, Ok! Biar kita semua senang...." Ibu tersenyum lebar, memberi semangat.
Alecia     : "Iya, Bu...." Menahan isak.
Ibu          : "Ayo sekarang mandi dulu, boleh sambil main air, ajak Kinan sekalian."
Alecia     : "Iya. Boleh sambil mandiin barbie?" 
Ibu          : "Iya, boleh."
Alecia berjalan menuju teras rumah, memanggil Kinanti, mengajaknya mandi bersama. 
Kinanti yang sedang asyik melihat kucing, menyambut ajakan Alecia. 
Mereka pun tertawa senang, bermain air sambil memandikan boneka.

Celotehan anak umur lima tahun tentang kematian, menyentil pikiran dan perasaan, sebab kita sebagai òrang dewasa sering lupa, terlena dengan kehidupan dunia yang fana.
Mati itu pasti, maka hendaklah kita selalu bijak dalam menyikapi hidup ini.
Julianti, Ciputat, 07112015

Jumat, 15 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Kesepakatan

CELOTEH ANAK
Kesepakatan

Alecia dan Kinanti sedang bermain boneka sambil tebak-tebakkan huruf, belajar membaca ala mereka.

Kinanti    : "A, itu aku, B, itu baju,  C, cukup."
Alecia      : "Kalau digabung, jadinya... baju  aku cukup."
Keduanya pun tertawa senang
Kinanti    : "Horeyy.... Cia hebat! Nah, kalo 'O' itu 'Kaos"
Alecia      : "Bukan! Kaos, itu... K O N G S O P Q R S T U."
Kinanti    : "Hahahaha.... Cia pintar!"  Sambil bertepuk tangan.
Alecia      : "Emang apa dibacanya?"
Kinanti    : "Ga tahu!"
Alecia      : "Hahahahah...."
Kinanti    : "Emang apa?
Alecia      : "ngasal aja!"
Kinanti    : "Hahahahah.... Kita hebat! Kita hebat!" Kinanti sambil mengacung-acungkan bonekanya.
Keduanya tertawa makin girang.

Bagi mereka, benar atau salah tidak jadi masalah, yang penting sepakat bahwa itu menyenangkan.
Jika sudah ada kata 'Sepakat' sulit untuk diganggu gugat. Itulah anak-anak, mereka adalah cermin bagi kita.

Jika ingin benar-benar belajar, bertanyalah pada ahlinya.
Julianti, Ciputat, 27062016

Kamis, 07 Juli 2016

CELOTEH ANAK - Mengenal Ciptaan-Nya

CELOTEH ANAK

Mengenal Ciptaan-Nya

Dalam perjalanan. 
Dari panasnya Jakarta, sampai sejuknya udara Puncak Cianjur, kami bercakap-cakap. 
Lewat kaca jendela mobil, melihat pemandangan sekitar, bermacam bangunan, gedung-gedung bertingkat, membuat aneka tanya dari anak-anak.
Alecia merasa kagum, "Bu, itu bagunan apa yang tinggi banget?"
"Itu gedung perkantoran, yang di sana hotel." Jawab ibu.
"Ciptaan siapa?"
"Ciptaan manusia."
"Hebat ya, manusia bisa bikin gedung tinggi sekali. Gimana bikinnya?"
"Iya hebat, dong. Manusia kan dikasih akal, pikiran, dan perasaan, oleh Allah. Dengan itu semua maka manusia berkarya, ada yang bikin gedung, jalan, mobil, pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dan yang lainnya."
"Mereka berpikir pake otak ya?" Alecia sambil menunjuk kepalanya.
"Iya." Jawab ibu.
Anak-anak terdiam, sambil melihat ke luar, mengamati setiap yang dilewati.
Kami pun sampai di Puncak, udara terasa sejuk, gunung dan bukit-bukit hijau, memberi rasa nyaman. 
"Wooowww... indahnya!" Nabasa membuka jendela.
Alecia dan Kinanti mengikuti membuka kaca jendela mobil yang melaju sedikit pelan.
Alecia menatap gunung dan bukit kebun teh, "Kalau bukit, pohon, gunung, itu ciptaan siapa?"
Ayah yang sedang menyetir dan Nabasa yang sedang menikmati pemandangan, menjawab berbarengan,  "Ciptaan Allah."
Kinanti ikut bertanya, "Ayah Allah itu yang gimana?"
"Allah tidak seperti manusia, tapi Allah maha besar, bukan besar badannya, ya!" Jawab ayah sambil tersenyum.
"Oh iya..... Allah itu besar kepalanya!" Alecia menceletuk.
"Hahahahaha....." Semua tertawa.
Kinanti ingin membetulkan jawaban Alecia. Ia pun berkomentar. "Bukan besar, Cia..... tapi... s e d e n g !"
"Hahahaha..... " kami tertawa makin kencang.
"Manusia aja, kepalanya segini, bisa bikin gedung, apalagi Allah bikin gunung dan bukit." Alecia berargumen.
Dengan sisa tawanya, ibu berkata. "Kan ayah tadi udah bilang, Allah tidak seperti manusia."
"Terus gimana?" Alecia penasaran.
"Tidak tahu, yang pasti Allah itu adalah kekuatan yang maha dahsyat, tidak bisa digambarkan, kita hanya bisa menikmati ciptaannya. Gunung, pohon, awan, langit, laut, dan.... banyak." Lanjut ibu.
Anak-anak terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan.

Rasa ingin tahu anak-anak begitu besar, bahkan mengenai keberadaan Tuhan, yang kadang orang dewasa pun memperdebatkannya hingga banyak timbul keributan. 
Untungnya pikiran anak-anak itu sederhana. Semua hal dianggapnya bermain, jadi tidak ada indikasi saling menjatuhkan.
Julianti, Cianjur, 05052016